Sebagai bentuk apresiasi, saya mengambil salah satu karya anak bangsa yang saya kutip melalui wordpress.com agar supaya diketahui bahwa ini adalah sebuah karya hebat, novel sejarah dengan sentuhan sastra yang anggun, jika U.S. punya JK. Rowling, Jepang punya Masashi Kishimoto, kita punya S.H. Mintardja. Suguhan karya berkualitas dengan berbagai tokoh sejarah yang menginspirasi, sayang sekali jika dilewatkan untuk dinikmati, salah satu karya yang saya maksud adalah serial cerita API DI BUKIT MENOREH, tanpa sinopsis langsung saja dimulai.
Cerita karya S.H. Mintardja, yang diterbitkan oleh penerbit Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, antara tahun 1968 - 2002
episode 1 ( Buku 1 Jilid 1 )
Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit.
Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya
menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan.
“Aku akan berangkat,” tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan, jangan kakang berangkat sekarang.”
“Tak ada waktu,” sahut kakaknya, “sisa-sisa laskar Arya Penangsang
yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus
menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan
berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu
akan datang demikian tiba-tiba.”
“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya.
“Tak ada orang lain,” sahut kakaknya.
“Tetapi…,” bibir Sedayu gemetar.
“Aku harus pergi.” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya.
“Jangan, jangan,” adiknya berteriak, “aku takut!”
Untara menarik nafas panjang. Katanya, “Kau hanya akan berada di
rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan
tinggal disana sampai aku pulang.”
“Aku takut, justru malam ini,” sahut adiknya. “Bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari?”
“Mereka tak akan datang kemari,” jawab kakaknya. “Aku tahu pasti.
Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi.”
“Tidak, tidak,” mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.
Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. Tanpa sesadarnya ia
terlempar kembali, duduk disamping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia
tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang
terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah
mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada
orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya
yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah
darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga
dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi.
“Sedayu,” katanya kemudian, “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia
itu Adipati Pajang yang dahulu bernama Mas Karebet, telah menggemparkan
Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula, Sutawijaya berhasil
melawang Penangsang yang perkasa.”
“Aku bukan mereka,” jawab Sedayu.
Untara mengeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri.”
“Tetapi aku takut,” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.
Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa
kanak-kanaknya adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan
kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah maka Sedayu terlalu
tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu berdiri
diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua langkah
diajarnya juga cara-cara membela diri dan didalam latihan-latihan dapat
juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun kelincahan dan
ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya
terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil
jiwanya. Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar
Penangsang yang sedang berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung
Merapi.
Untara kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu
merambat terus kepusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap
rumah dan dedaunan.
Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Gumamnya, “Bagaimana kalau kau
ikut?” Namun terasa hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya
diperjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka seluruh sanak
keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri akan
menyalahkannya.
Agung sedayu memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti
kenapa kakaknya, pada malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa
diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu sedang mencoba untuk
berpikir, terdengar kakaknya berkata, “Bagaimana Sedayu? Kau tinggal
dirumah, atau kau ikut serta?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu.
“Kau harus memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang
akhirnya tidak menemukan jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar
didalam dadanya adalah “laskar Paman Widura harus diselamatnyan”, dan
itu adalah kewajibannya.
Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik
baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi ke
Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia memilih untuk ikut serta
meskipun dengan dada yang berdebar-debar.
“Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu diperjalanan?” bertanya Agung Sedayu.
“Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka kerumah ini,” sahut kakaknya.
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih
kerisnya dari glodog disamping pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri
pula. Dibetulkannya letak pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere
dari mangkuk bambu dengan bibir yang gemetar. Namun hatinya tidak mau
tenang juga.
“Bawa kerismu!” perintah kakaknya.
Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya kerisnya dipinggang kiri.
Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak pintu menuju ke
kandang kuda dibelakang rumah. Namun ketika mereka telah berada diatas
punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu berdesah, “Apakah pekerjaan
ini tidak dapat ditunda?”
Kakaknya menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam Paman Widura.”
Agung Sedayu memandang malam yang pekat dengan dada yang
berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup oleh hujan yang semakin
deras.
“Berdoalah,” bisik kakaknya. “Tuhan bersama kita.”
Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih.
Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam.
Sesaat kemudian mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju kearah
timur. Dibelakang mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut
kepekatan malam dan kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan dari
langit. Ketika guruh menggelegar diudara dan kilat menyambar diatas
kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang menjalur dibawah kai-kaki
kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah liat yang telah
bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari lereng-lereng bukit.
Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku diatas punggung kuda
masing-masing. Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh kepada
kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu
menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah yang
kira-kira akan terjadi diperjalanan dan apakah yang akan terjadi besok
apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan
Widura tidak begitu menguntungkan dan jumlah orangnyapun tidak begitu
banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung menghadapi
pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yangtidak mau
melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan
keributan dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan
kemudian menyerang daerah-daerah yang jauh dibelakang garis perang.
Mereka datang setiap saat, dan kemudian menghilang seperti hantu.
Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan belukar menjadi tempat
persembunyian mereka.
Demikianlah petang tadi, Untara menerima berita tentang laskar yang
telah kehilangan tujuan perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk
menyerang Sangkal Putung. Dan agaknya Widura sama sekali tidak menduga.
Namun lumbung-lumbung yang padat di Sangkal Putung, pasti akan dapat
memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. Dan memang
itulah tujuan mereka.
Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik, “Kakang, kau melihat bayangan dihadapan kita?”
Untara mengerutkan keningnya. “Ya,” jawabnya.
“Orang?” berbisik Agung Sedayu.
Untara menggeleng “Jangan mengada-ada Sedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angin tiga hari yang lampau?”
Sedayu mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang
yang bertubuh raksasa menghalang dipinggir jalan. Tiba-tiba
bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi tegang. Ia merapatkan kudanya
kesisi kuda kakaknya.
“Hem,” kakaknya menggeram. “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang diri.”
Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang.
Ketika kilat menyambar dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung
Merapi itu, Sedayu menarik nafas panjang. Bayangan itu benar-benar pokok
pohon jati yang patah diputar angin.
Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya
berdebar-debar. Tidak jauh dihadapan mereka terbentang padang rumput dan
beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak sebatang pohon beringin
raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar.
“Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan.
“Kenapa?” tanya kakaknya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya. “Kau takut macan putih yang menjagai beringin itu?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Tidak,” kakaknya meneruskan. “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan.”
“Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Ya,” jawab kakaknya.
“Macanan?” desak adiknya.
“Ya.”
Sedayu semakin gelisah. Katanya, “Bagaimana kalau kita tiba-tiba
berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah daerah Macanan itu terkenal
dengan harimau belangnya?”
“Harimau belang itu tidak seganas macan putih di Lemah Cengkar,” Untara
menakut-nakuti adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut terhadap
macan putih maupun harimau belang. Namun lewat Macanan jalan bertambah
dekat.
Agung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil
karena hatinya yang keciut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda
mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara mempercepat lari kudanya,
Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau berjarak lebih tebal
dari tubuh kudanya dari kuda kakaknya.
Perjalanan mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan
sempit itu tampak merah kehitam-hitaman. Dihadapan merke terbentang
hutan belukar. Pandangan mata Untara yang tajam jauh mendahului
kaki-kaki kudanya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia
melihat sesuatu dihadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok
kayu jati yang roboh. Dan bayangan itu dilihatnya menghilang diujung
jalan.
Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya.
Untara sendiri tidak pernah menjadi takut apapun yang berada
didepannya. Tetapi kali ini ia membawa adiknya. Seandainya bayangan itu
seekor harimau, maka akan mudahlah untuk mengatasinya. Harimau tidak
selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak berdiri ditengah
jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka akan dapat
berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya harimau itu
mengadang mereka, Untarapun tidak takut, sebab telah dua kali ia
terpaksa berkelai dengan harimau, dan harimau-harimau itu selalu
berhasil dibunuhnya. Dibunuh dnegan keris yang terselip dipinggangnya
itu.
Tetapi bayangan yang bergerak dan menghilang kedalam hutan adalah
bayangan yang tegak diatas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah bayangan seseorang.
Untara menarik nafas untuk merdedakan debar jantungnya. Sekali lagi
ia memandangi adiknya, bahkan tanpa disengaja ia memperlambat kudanya.
Sedayupun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang bekejaran ia bertanya, “Ada apa kakang?”
“Tidak ada apa-apa,” sahut kakaknya. “Jalanan dihadapan kita sangat licin.”
“Oh,” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.
Akhirnya Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan
matanya kehutan dihadapannya. “Apakah yang tersembunyi dibalik kekelaman
itu?”
Hati Agung Sedayu semakin cemas. Desisnya, “Adakah sesuatu dihadapan kita?”
Untara berbimbang. Tidak seharunya ia menyembunyikan bahaya yang
mungkin berada dibalik kehitaman hutan itu. Mereka harus berhati-hati.
Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan, keadaan akan lebih jelek lagi.
“Kita lampaui daerah yang licin ini dengan berjalan kaki,” jawab
kakaknya. Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya
berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak tahu siapakah
yang berada diujung hutan itu. Kalau mereka menyerang dengan tiba-tiba,
maka duduk diatas punggung kuda akan menjadi lebih berbahaya. Seorang
kawannya pernah mengalami nasib yang tidak menyenangkan, ketika ia
mengalami serangan dengan cara pengecut. Dilintangkan oleh para
penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. Kemudian dalam
keadaan yang sulit kawannya itu tudak mampu mempertahankan diri. Dan
kini ia tidak mau mengalami nasib serupa itu.
Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak
pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri
disamping kakaknya, “Adakah sesuatu yang berbahaya?”
Kakaknya tidak mau berbohong lagi. Jawabnya, “Bersiaplah. Mungkin
kita berjumpa dengan bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman.”
Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita kembali?”
“Nasib paman Widura tergantung kepada kita,” sahut kakaknya.
“Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya.
Untara tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang
wajar. Tetapi ada sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia
merasa wajib untuk menyelamatkan laskar Widura, pamannya yang telah
bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan. Dan yang
terakhir, mereka berdua berdiri dipihak Pajang dalam pertentangannya
dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang
memaksanya untuk berjalan terus.
Karena Untara tidak menjawab, Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita
tidak kembali. Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari nasib
siapapun juga?”
“Belum pasti kita akan menjumpai bahawa Sedayu. Bahkan mungkin kita
akan mendapat teman seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada diujung
hutan itu anak-anak paman Widura sendiri”. Namun apa yang dikatakannya
sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih agak jauh.
“Adakan seseorang diujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas.
“Ya,” jawab Untara berat.
“Kakang lihat?” desak Sedayu.
“Ya.” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya.
Apa yang diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin
merapatkan dirinya sambil merengek, “Kakang, marilah kita kembali.”
“Jangan, Sedayu,” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya. “Kita lihat siapakah yang berada diujung hutan itu.”
“Mereka pasti laskar Arya Penangsang,” sahut adiknya.
“Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya.
“Mereka adalah orang-orang sakti,” jawab adiknya.
“Kita juga laki-laki seperti mereka, Sedayu,” bombong kakaknya.
“Apabila mereka orang-orang sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh
laskar Pajang.”
“Kita bukan laskar Pajang,” bantah adiknya.
“Aku salah seorang dari prajurit Pajang,” potong kakaknya. Untara
bukanlah seorang yang biasa menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap
adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya dan tidak akan menyulitkan
keadaanya seandainya ia benar-benar harus menghadapi bahaya.
“Tetapi aku bukan,” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya.
Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah
semakin dekat dan Untara tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan
berkata lagi, Untara berdesis, “Diamlah! Supaya orang–orang dimuka kita
tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka akan semakin
berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.”
Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan
ketakutannya. Karena itu dengan lutut yang gemetar iapun berjalan terus.
Tiba–tiba Untara menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat
bambu wulung yang kehitam–hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan
malam yang kelam. Namun ketajaman mata Untara dapat membedakannya
dengan warna air yang keputih–putihan memantulkan cahaya cakrawala yang
sangat lemah. Dan apabila kaki–kaki kuda mereka menyentuhnya, akibatnya
akan mengerikan sekali.
Beberapa langkah dari bambu yang melintang itu Untara berhenti. Tak
ada seorangpun yang tampak. Namun ia yakin di dalam hutan, dibalik
pohon–pohon yang rapat itu, pasti bersembunyi seseorang atau lebih.
Ketika Sedayu melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya
seakan–akan membeku. Ia pernah melihat cerita kakaknya tentang seseorang
yang malang melanggar seutas tali yang terentang di jalan. Tetapi
hatinya telah benar–benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama sekali ia
tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya semakin
gemetar, dan seakan–akan ia telah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak
diatas kedua kakinya itu.
Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan
demikian, ia akan berada didalam kedudukan yang kurang baik. Orang–orang
yang berada di belakang rimbunnya daun–daun akan dapat melihatnya
dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat melihat mereka. Karena
itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka atau beberapa
orang sekaligus datang kepadanya.
Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar
berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia tidak berani berkata apapun,
namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya. Perlahan–lahan tangan
Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk melepaskan pegangan
itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu
berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya.
Untara menarik nafas.
Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang, “Biarkan
mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka
mengganggu kita, kau baru boleh bertindak sesuka hatimu. Syukurlah kalau
mereka sahabat-sahabat kita yang baik.”
Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya
seperti akan memecah dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya
seperti telah tersumbat.
Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang
bersembunyi dibalik pohon-pohon yang rimbun itu mendadak menjadi tidak
sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka
berteriak “Siapa kalian?”
Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak
ditelinganya. Kini tidak saja lututnya yang gemetar, tetapi seluruh
tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang darahnya seolah-olah
berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia
tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan
kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah,bisiknya
“peganglah kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya.
Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata
lirih “Sedayu,kalau kau tak mau memegang kendali kuda, jangan
berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”
Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap
arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan
Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara dua ekor kuda seperti
tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat
merobohkannya.
Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda.
“He, siapa kalian?”
Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil.
Karena itu maka dijawabnya berhati-hati “kami anak-anak dari sendang
gabus. Siapakah kalian?”
“Ya” sahut Untara
“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus.
Untara sendiri tidak banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus,
meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk
menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya orang-orang yang
bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara pasti
mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat
itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan
namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan diri dari
bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting.
Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami
bencana. Karena itu maka ia menjawab untung-untungan “ Anak Sadipa”
“Sadipa” sahut suara diujung hutan
“Ya”
“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula”
Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa “Sadipa yang
lain. Tinggi besar,berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.”
“Bagus” sahut suara itu “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong ?”
Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang
dikenalnya. Ia telah menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang
kegelapan itu tahu ia berbohong.
Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari
balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja dimuka
adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang
menggigil ketakutan.
Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan
mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya
menghentak-hentak dada.
Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti betu karang.
“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.
Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis
yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang
itu masih beberapa langkah maju.
“Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara “dua anak yang berani”. Siapakah namamu?”
“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.
Kembali orang itu tertawa “jangan berbohong” katanya “Anak Sadipa
yang tinggi besar,berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak
segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”
Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri dihadapannya itu orang Sendang Gabus?
“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.
“Tebak siapa aku?” ornag itu berkata sambil tertawa.
Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang
Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande
besi di Sendang Gabus.
“Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut “kau pande besi Sendang Gabus.”
Orang itu mengangkat alisnya,katanya “ kau kenal aku?”
Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang sambung Untara. Namun
dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu
kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orng itu telah melupakannya.
Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan
dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda
itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derail tawanya “ Ha.
Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu berhenti sejenak
untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak “setan. Bukankah kau
yang bernama Untara. He?”
Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata
masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab “Ya, aku Untara.
Bukankah kita bertetangga?”
“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu.
“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya?” kau berada di pihak
Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan
keyakinanku.”
“Huh” sahut orang itu “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung disawah.”
“Yang penting bagiku,apakah yang telah di lakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini.” Sahut Untara.
“Aku bukan tukang bicara seperti kau” bentak orang itu. “Wahyu
keraton tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir
dalam diri penggembala seperti anak tingkir itu.”
“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara
“Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu.
Untara tersenyum. Katanya “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu?
Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak
dapat membayar utangmu pada Demang sendang Gabus?”
“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus mati. Kau pula harus mati” gertak pande besi itu.
“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.
Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang
di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena
itu ia menjawab “Ya,aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan
Arya Jipang.”
“Hem” Untara menarik nafas “kenapa golongan? Paman pande besi”
sambung Untara “Paman bisa mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan
itu. Orang –orang Pajang bukan pendendam.”
“Persetan. “tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar,
Terdengar Untara menggeram “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh
pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan.Tampaklah mulutnya
bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara
menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia singgah sebentar di
Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana. Namun apakah pamannya
sedang dirumah juga belum pasti.
Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada disamping si
pande besi. Yang seorang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seornag
lagi tinggi gagah sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih tua
sedikit dari adiknya.
“Untara” berkata si pande besi “sayang kami tidak biasa menawan
seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.”
Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata “kalian berdua akan kami bunuh”
Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?
Tiba-tiba Untara berkata lantang “Sedayu,menepilah. Biarlah aku saja
yang menghadapi mereka. Kau tidakperlu ikut serta. Orang-orang ini sama
sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Si Pande besi menggeram “ Jangan terlalu sombong.”
Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin
menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani
mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu
memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui, apakah
sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil
ketakuatan dengan dada sesak.
Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba
memencar. Ditangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande besi
itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok
pendek,yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak
muda memegang pedang.
“Anak ini bernama Untara” teriak si pande besi “karena itu berhati-hatilah.”
“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah
terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran
melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa
kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung
dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia
harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang
yang disegani itu.
Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya
bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka.
Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada diantara mereka yang
terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak
menyenangkan itu ada padanya.
Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian
dari keempat lawannya, sehingga tak ada diantaranya yang mengganggu
Agung Sedayu.
Maka dengan gerak yang cepat,secepat tatit menyambar dilangit,Untara
meloncat menyerbu diantara mereka. Dengan berputar diatas sebuah
kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu
berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung
dengan sangat terkejut meloncat mundur,dan si tinggi gagah, terpaksa
meloncat kesamping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan
Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi
debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan
garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya
yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan
dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah
ditangannya.
“Setan,demit,tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat
tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti
melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya.
Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi
besar “berikan aku sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak
menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu.
Sementara itu,kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan
mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang
berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa
keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran. Karena
itu Untara tidak menyianyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan
pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh.
Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit,Pande besi dati
Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa.
Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan. Ornga yang
tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang panjang
setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang diujung tangannya
itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun
mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya
menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja
dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun Untara bukan
anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan
senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang
yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi mencoba-coba
membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. Sedang si anak
muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat
menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik
dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang diri,
maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang terjun ke
dalam api.
Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah
menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut senjatanya akan mengenai
kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap
garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka
harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti
anak kijang. Sekali-sekali ia melontar diantara mereka berempat, namun
tiba-tiba ia telah berada diluar lingkaran. Bahkan sekali-sekali
lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri
diantara percikan-percikan hujan yang hampir reda.
Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak
teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur didalam dadanya, namun
sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua
lututnya beradu. Meskipun demikian ia malihat juga anak muda sebayanya
bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di dalam dadanya. Kenapa
anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung
Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan
Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas.
Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum pernah
melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkalahian untuk mempertaruhkan
nyawa. Yang pernah dilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih.
Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar,
menyerang dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun
keberaniannya tak ada untuk melakukannya.
Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya
semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara
menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya
pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia
melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu
menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang
licik itu berpikir di dalam hatinya “anak yang satu ini aneh benar”
Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas
perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari
wajahnya. Namun meskipun demikian pande besi itu terpaksa menduga-duga
“ada dua kemungkinan” pikir pande besi “anak ini terlalu percaya kepada
kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi
kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut”
Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara “Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar
nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang
kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian
Untara. Maka terdengarlah ia berkata diantara derail tawanya “He Untara
yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya
menonton saja seperti sabungan ayam.”
Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya.
Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia
menjawab “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup
mampu untuk melakukan.”
Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan,
sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan
mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa pande besi itu terputus.
Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak
oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun untunglah ia sempat merendahkan
tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung
Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari
ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba
tongkat besinya telah terayun kedada si tinggi besar.serangan ini
terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa
mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat
menolongnya. Orang yang tunggu kurus sempat memukul tongkat Untara
dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga
ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya terpental.
Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang
terlempar beberapa daripadanya.
Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang
bakal datang. Mereka berempat dengan senjata ditangan masing-masing
tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang
dari mereka tidak bersenjata lagi.
Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan
rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan
berteriak nyaring ia berkata “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata
kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.”
Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar
menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah
perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari
punggung.
Namun Untara adalah seornag prajurut Pajang yang terpercaya. Karena
itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya,
pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau
orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu, Untara
memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan
berikutnya. Sementara itu si pande besi telah berlari kea rah Agung
Sedayu.
Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya
serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang
dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu
kerisnya. Namun tangan itu gemetar da kehilangan kekuatannya. Maka
kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar
suaranya terbata-bata “Kakang, kakang Untara.”
Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar
menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak
muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa
kesulitan. Maka katanya sambil berlari “Tahanlah Untara. Biarlah ia
melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”
Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan
lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah.
Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat
kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku
ketakutan.
Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu
sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri
disamping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi
kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda
yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun
melontar seperti panah.
Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara.
Sebab dengan itu si pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak
mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah
cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang
lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari
kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang
dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya. Tongkat besi itu
terayun deras sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh tenaga.
Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu
menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin
untuk menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya
tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya. Karena itu si pande
besi hamper saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.
Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya
sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih
kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar oleh
kemarahan.
Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar benturan
langsung dengan memukul tongkat Untara kesamping, namun usahanya itu
tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka
terdengarlah pande besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia
terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah.
Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh
lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun
untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan anak muda yang bersenjata
pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah
kepunggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun
saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh
tinggi besar dan bersenjata pisau.dengan penuh nafsu dendam orang itu
menusuk leher Untara. Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba pada saat
Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu
Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan
tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah.
Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi
baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit
ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak
kirinya.
Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar
membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang
yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang
yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi ditangannya
berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya menyerang
lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu.
Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu
Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau
dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus. Orang yang
tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat
ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya
dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi
kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya yang besar bergerak-gerak
dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah kelambung lawannya.
Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak
lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya.
Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.
Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah
benturan. Benturan antara tongkat besi ditangan Untara dengan
tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar
tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar
melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat
menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak
lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak
orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya kearah tubuh
lawannya.
Untunglah Untara melihat pisau itu.karana itu ia mengurungkan
geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar,
sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya.
Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan diluar
kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur
dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka
terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang
kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba
mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian
kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung
menyayat jantung.
Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan
kedua lawannya. Dada mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang
tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya sendiri.
Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun
darah telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun
semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan
menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan pertempuran
itu.
Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata
pedang itu setapak demi setapak maju mendekat, sedang orang yang
bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi itu masih mencoba
untuk mencobanya dengan tangannya.
Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya.
Mereka lamat-lamat melihat darah meleleh dar luka di pundak Untara.
Karena itu mereka asal saja dapat memperpanjang perlawanan mereka Untara
pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah mereka dapat berbangga
kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah berhasil membunuh salah
satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan
dan dikagumi oleh kawan.
Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya.
Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi
Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan
ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup mempunyai tenaga, maka
ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya dan
berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada
pilihan lain bagi Untara,kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka
taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung termasuk
nyawanya sendiri.
Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia
memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian
darah yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula. Namun Untara
bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji didalam hatinya
atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula.
Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus
kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan
tenaganya diperas sia-sia.
Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan
lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan demikian maka segera
tampak, bahwa Unatara akan segera dapat mengatasi kedua lawannya. Kedua
ornag itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah mereka
pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan
senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang
yang tinggi besar itupun rebah ditanah untuk tidak bangun lagi.
Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda
itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri
sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan lantang ia
berteriak “kali in kau menang Untara, tetapi lain kali kau akan
menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak akan
tenteram selam aku masih hidup di dunia ini.”
Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat
menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas semula. Tulang-tulangnya
seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia menjadi cemas,
jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai
ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi
menghadapi kemungkinan apapun.
Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat
menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat
lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati adiknya.
“Sedayu” desisnya.
Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah
payah datang kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat
“Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar.
Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar
seperti orang kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah
adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya.
Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya
darahnya tidak terlalu banyak mengalir.
“Tolong” desis Untara “balut lukaku”
Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi
ngeri melihat luka itu. Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka
itu dengan sobekan kain kakaknya.
“Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan”
“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.
Tetapi Untara masih berkata lagi “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada disekitar tempat ini.”
Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di
jalan-jalan yang becek berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara
menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu
menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah bergelut
di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun ia cemas
juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan
laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak
akibat. Ia akan dapat kembali mencar mereka berdua disekitar tempat ini
dengan kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah
perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat.
Pikiran sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan
hati yang kosong. Berbagai perasaan yang memukul-mukul dadanya telah
menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan
menyadari apa yang telah
dilakukan. Ia berjalan kareena kakaknya menyuruhnya berjalan sambil menggantung dipundaknya dengan tangan kanannya.
Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul
suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan
sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia
telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan
setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak
akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu,apabila
ia tidak mendapat pertolongan.
Sekali-sekali Untara menarik nafas. Disekitarnya terbentang hutan
belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui
rumah seseorang. “Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir”
tiba-tiba ia berdesis
Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya “apa katamu?” ia bertanya.
“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya.
Sedayu pernah pula pergi kerumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu
di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-tiba saja
Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang
berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas yang muncul
dihadapan mereka, maka celakalah mereka berdua. Sehingga dengan
demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan
katanya dengan gemetar “jalan dihadapan kita sangat gelapnya.
Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau misalnya?”
“Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya “kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.”
“Masih jauh” sehut adiknya.
“Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya “aku akan mati”
Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau
kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya
dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan dihadapannya, takut
kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. Tetapi ia lebih
takut lagi kalau kakaknya mati.
Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan
menuju ke Dukuh Pasewon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap
dadanya.
Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu
berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan
apabila ia harus mati karena darahnya kering. Baginya lebih baik mati
dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak berputus asa. Ia
percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan doa
didalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di
dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan
suara gemetar ia berbisik “Kakang, kau dengar sesuatu?”
Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya
telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya
menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih “Bukan
langkah manusia dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau
dengar ringkik kuda?”
“Ya” sahut adiknya.
Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak.
Seandainya kuda itu kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu.
“Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku”
Wajah Sedayupun menjadi agak cerah,katanya “lalu, apakah kita akan berkuda?”
“Ya” sahut kakaknya “kudamu tak ada,namun kita berdua akan berkuda bersama-sama”
“Kembali?”
“Tidak” jawab Untara “kerumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”
Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu
dibantunya Untara naik ke atas punggung kudanya, baru kemudian iapun
naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda yang kuat, karena
itu, meskipun diatas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda itu
masih dapat berlari kencang.
Kini harapan didalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat
mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir
ada dirumahnya.
Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yang subur
diujung hutan, sampailah mereka kepadukuhan kecil yang dinamai orang
Dukuh Pakuwon. Dipedukuhan kecil itulah tinggal seorang dukun yang sudah
setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia mengenal berbagai jenis
dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka dan bahkan
dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh seseorang.
orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan
harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya.
Kuda-kuda anak muda itu berhenti dimuka sebuah pondok kecil. Pondok
Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya turun dari kuda,maka dipapahnya
kakaknya itu kepintu yang tekatup rapat.
Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding.
Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan.
Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan
sisa-sisa persahabatan itu masih membekas dihati dukun tua itu.
Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari dalam lirih “Siapa?”
“Aku Ki Tanu” jawab Untara “Untara dari Jati Anom”
“Untara” ulang Ki Tanu Metir “Untara, o, adakah engkau angger Untara putera Ki Sadewa?”
“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang
mengalami cedera. Karena itu dengan tergesa-gesa orang tua itu berjalan
ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya diseret diatas lantai tanah.
Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan munculah dari
celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir
seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang diatas
sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta
dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening.
Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya “Kau terluka ngger?”
“Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan “duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.”
Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.
Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk diatas
bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu “Tolong ngger peganglah cilupak
ini, mataku telah menjadi kurang baik”
Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa
kedekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut
luka dipundak Untara.
Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya “Hem, luar biasa”
“Apa yang luar biasa?” desis Untara.
“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah.
Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak
terlalu lelah.”
Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya
seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya
seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan
segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir
memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara
“Widura harus diselamatkan”
Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara
hanya dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang
bergolak.
Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya “Agaknya angger berdua menjumpai bahaya diperjalanan.”
“Ya” jawab Untara singkat
“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula
Untara menggeleng lemah “Bukan” jawabnya “sisa-sisa laskar adipati Jipang”
“Hem, guman Ki Tanu “mereka berkeliaran ditempat ini.”
“Disini?” Untara terkejut mendengarnya.
“Ya,disekitar tempat ini” jawab Ki Tanu.
Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.
“Salah satu diantara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.
“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang –orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”
“Ya” jawab Untara
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat.
“Angger berdua” potong Ki Tanu.
“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang
bengis. Pande besi itu terkenal didaerah ini” berkata Ki Tanu
seterusnya “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih.
Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab
singkat “Aku belum kenal mereka”
“O” Ki Tanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia
menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk disamping Agung
Sedayu dan dibiarkannya Untara meristirahat bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi bingung. Sebenarnya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia menjawab “Seorang tinggi kekuru-kurusan”
“Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu “Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida”
“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.
“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.
“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?” bertanya Ki TAnu.
“Kira-kira” Sedayu mengangguk.
“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu “Anak itu ikut serta?”
“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya.
Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya “Jadi anak
itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas”
“Ya” sahut Ki Tanu “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah.
Pande besi dan Alap-alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di
Karajan”.
Di Karajan?” ulang Untara heran “Disamping Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki Tanu.
Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari
laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi
sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau
demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan kawan-kawan baru
mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya.
Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Sedayu “Mereka itukah yang melukai angger Untara?”
“Ya” jawab Sedayu.
Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya “Lalu siapakah angger ini?”
“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara”
“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk “Kalian menjadi
seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak
akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda sekaligus.
Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan
mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu
merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu
menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi sejalan
dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. Bukankah
kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga
diantaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga “Tiga diantaranya
terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan
diri”.
“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang
bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu
mengusap keningnya sambil berdesis “Nama Untara benar-benar cemerlang.
Kini akan tumbuh nama baru disampingnya, Sedayu”
Agung Sedayu menggigit bibirnyya. Ia tidak berani memandangi wajah
kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seperti
yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka.
Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada
dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya
berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi dirumah
pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandi senjata, yang
dilakukan tidak lebih daripada membantu bibinya menanak nasi dan
membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.
Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya
menjadi semakin jelas. Dikenangnya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah
dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain,
adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat dan
enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka
mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari
semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau.
Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata “Sedayu,
Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman
Widura?”
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah”
Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal didalam
dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata
perlahan-lahan “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku harapkan untuk menolong
menyelamatkan paman Widura”
Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke
Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula
“Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu.
Disini dan diperjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya.
Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab
orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti akan mencari aku. Kalau benar
sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ketempat .ini.
Mereka pasti memerhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencoba
mencari”
“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu
terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku
bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?”
Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan.
Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh,
pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari
arah barat”.
Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung
benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan
kakaknya. Kalau ia berada dirumah, maka keadaannya pasti akan lebih
baik.
Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya
ragu-ragu “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke
Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau
perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa angger Sedayu
berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan
dengan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu,
bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat
kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki
Tanu pula “Bukankah angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu
menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi Sendang
Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua
kawannya lagi?”
“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang
melampaui kesaktiannya dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu
jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda”
Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.
Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya
kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman
pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang
masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat
kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal Putung
daripada tinggal di dukuh Pakuwon. Didorong pula oleh rasa tanggung
jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun
penuh kepastian “Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap
Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan
temuilah paman Widura”
Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia
mencoba membantah perintah itu “Kalau aku bertemu dengan mereka,
bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara “Tempuhlah jalan barat”
“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak “Pergilah”
Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun
terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.
Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba
menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara
Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “kakang, aku takut”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini,
siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu
iapun berdiam diri.
Tiba-tiba ornag tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras
sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah “Sedayu,
pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati
karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku
sendiri”
“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.
Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata
terpejam Untara berkata pula “Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan
selama Alap-alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik kau mati
dengan luka senjata didadamu”
Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti
guruh yang menggelegar didalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu
Metir berkata dengan terbata-bata “Angger Untara, apa yang akan angger
lakukan itu?”
“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu”
Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.
Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir “Angger Sedayu, kakangmu telah
menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi.
Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu berada
dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti
angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut
diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam
angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan
Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi”
Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan
yang bergumul didalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu
tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. Sehingga seperti seorang
perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya
tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan
terdengar suaranya gemetar “Adakah kakang berkata sebenarnya”
“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara
lirih namun pasti “Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat
kau merengek-rengek seperti bayi”
Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun
mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak,
sampai kakaknya membentaknya “Pergi sekarang juga!”
Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi
menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut
kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan
dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar dan
tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang
meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki
Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu
mendengar Sedayu menahan isak didadanya. Maka bisiknya menghibur
“angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah
saatnya akan diambilNya, maka berlakulah kehendakNya meskipun angger
berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka
berlakulah pula kehendakNya itu. Karena itu jangan takut”.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya.
Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya
memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Diluar dilihatnya
kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda itu.
“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak
menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik
kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup kedalam malam yang
pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup kedaerah
maut.
Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus
dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir
terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir.
Dimalam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan
hitam menghadangnya diperjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi
berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada
diperjalanan itu.
Ketika Sedayu telah hilang dibalik kekelaman malam, Ki Tanu Metir
menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara
yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya “Kenapa hal itu angger lakukan?”
Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya”
Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan disamping Untara. Ia
mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula “Kasihan
Sedayu”
“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus
aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman
Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara.
Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia
sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan
ancamannya.
“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula “Aku hanya
menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan
dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya.
Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia
meneruskan dengan susah payah “Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir
menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat “Angger memerlukan perawatanku disini”
“Tetapi” jawab Untara “kalau hal itu membahayakan Ki Tanu? Kalau
mereka datang kemari, dan ditemuinya aku disini, maka tidak saja aku
yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula”
“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir “Luka angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”
Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda
dihalaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali,
tetapi segera ia mempergunakan akan dan perhitungannya untuk melawan
perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan
Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung
jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian
maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan
kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil
menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda
yang bengis itu benar-benar datang kerumah itu bersyukurlah ia, meskipun
nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk
terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang lebih
jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan
adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian
Alap-alap itu datang membunuhnya. “Aku telah berusaha” pikir Untara.
Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan
penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan
dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang
terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap
Jalatunda tidak datang kepondok itu.
Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar
jauh ditikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu
Metir berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu.
Lamat-lamat terdengar suara itu “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh
perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan “Kalau kau tak mau
mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”
“Ampun” sahut suara yang lain “aku hanya mendengar suara kuda berderap”
“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu.
Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya
dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.
Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini”
“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah.
Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu” katanya kemudian “Biarlah
mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu
dapat diselamatkan”
“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir “angger adalah
salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang
tak berarti”
Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa
kepahlawanan tidak saja berkobar didalam dada para prajurit yang dengan
senjata ditangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah
kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi didalam dada orang tua
itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya.
Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan
menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh.
Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara para petani yang
sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit
dagingnya.
Untara menggeleng lemah “Tidak” katanya, “sudah sewajarnya seorang
prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku
berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka
menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan
diri”.
“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir “Kalau aku lari sekarang,
maka kerumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat
menemukan aku disini. Tak ada gunanya”
Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab
berkatalah Ki Tanu Metir “Angger, kenapa kita tidak berusaha
menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan. Kalau-kalau
orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan angger
maka akupun akan selamat pula”
“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan
diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek
sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun
darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.
“Marilah angger aku sembunyikan disentong kiri. Aku timbuni angger
dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara
menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut
kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua
itu masih cukup kuat untuk memapahnya.
Disentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir
padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk kedalam sebuah bakul yang
besar “Melingkarlah disitu ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas”
berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian,
ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka
dibahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu dengan
Alap-alap Jalatunda.
Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan
bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Didalam bakul
yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi
semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas.
Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu
rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya
“mbah dukun, buka pintumu”
Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau
orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat
mengucap syukur karena adiknya telah pergi.
Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera
beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya
dipukul keras-keras “He, buka pintu Ki Tanu”
Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan
terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri “Ya, ya tunggu. Aku sudah
bangun”
Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret
telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir
berderak patah “Aku tidak sempat menunggu” terdengar suara dibelakang
pintu.
“Ya, ya” sahut orang tua itu “aku sedang berjalan”
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu
itu menganga, demikian beberapa orang dengan senjata ditangan
berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil
mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu
menyeringai ketakutan. Jawabnya “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku
sedang melihat air diparit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini,
parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah
orang-orang ini”
“Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka “Monyet itu
tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya”
“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.
Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati
Ki Tanu Metir “Hem” geramnya “Kita telah berkenalan kiai, namun baru
hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu”
“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?”
“Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu.
Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan
itu.
“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir “Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”
Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya “Bagus. Kalau kau sudah
mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku”
“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat “aku pasti akan membantu angger”
Disentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu.
Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama
Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi
dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun
demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama
menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin,
setiap goresan ditubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah
maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya,
apabila tidak segera dapat penawarnya.
Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata “Ki
Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan
aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”
Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban
atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu
membentaknya “Jawab pertanyaanku”
Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya “tidak ngger, tak seorangpun datang kemari”
Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya “Kiai adalah seorang dukun yang
terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu
ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia
sekarang?”
O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya,
kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu
Metir.
“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini”
“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu.
“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu.
Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar
seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir
sambil berkata “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa
hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan”
Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada ngger, benar-benar tak ada”
“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu “Aku bertemu dengan anak itu
diujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang
lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama
yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka
berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku,
dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom
tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari”
“Tidak ngger” jawab Ki Tanu “sungguh tidak”
“He monyet bungkuk” teriak Alap-alap itu kepada Kriya “Jawab pertanyaanku”
Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak
“Kau lihat orang berkuda masuk kedukuh Pakuwon”
“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu.
Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.
“Kau lihat dua orang diatas satu punggung kuda seperti katamu tadi ditikungan” teriak Alap-alap itu.
Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.
Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia
tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong
dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata
mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi
dihadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran
dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir
adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah
seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang
padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk
menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai
hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka
akan celakalah orang tua yang baik hati itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap
Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil
itu, serta menutupi ubun-ubun dikepalanya dengan kedua telapak
tangannya ia memohon “Ampun”
Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa
melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan
pendek itu “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada
orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.
Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya
selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat
mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan “Kriya, berkatalah sebenarnya”
Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk
sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi
“Katakanlah apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda”
Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia
mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya
sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya “Ampun ngger,
Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”
“Hem, baru sekarang kau katakan ktu “geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?”
“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.
Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu
Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya “Kau dengar dukun tua, lidah
si bungkuk itu terputar-putar?”
“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir “Tetapi adakah seseorang yang masuk
kepadukuhan ini pasti datang kerumahku? Bagaimanakah kalau orang itu
sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya “Hanya
disini tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap
itu menjadi liar “Mana dia” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan
menggigil karenanya.
Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah.
Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara
terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang “Angger, kalau
angger tidak percaya, silakan mencarinya”
Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak “Bohong!”
Tiba-tiba diantara mereka, diantara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda
itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda
dengan suara Alap-alap Jalatunda “He Alap-alap kecil, agaknya kau
terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari
disemua sudut rumah ini”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara.
Orang yang menyebut “Alap-alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil
itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi
semakin berdebar-debar.
Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya
“Bagus”, dan kepada anak buahnya ia berkata “Carilah orang yang bernama
Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa
Ireng”
“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu didalam hati. Dan debar
jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang
bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan.
Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya
Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa
Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang.
“Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara.
Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng
itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya,
sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena
darahnya terlalu banyak mengalir.
Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar
kesegenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya,
bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak
seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka
jenguk pula, bahkan dengan lampu ditangan mereka. Namun
disentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan disentong
kiri seonggok untaian padi didalam bakul yang besar. Namun Untara tak
mereka temukan.
Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng
terawa nyaring diluar pintu. Katanya “Kuda itu telah kemari, tetapi aku
melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”
Alap-alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun
mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu dibawah cahaya oncor ditangan
Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil “Bawa Kriya kemari”
Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret
mendekati alap-alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk
mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.
“Kriya bungkuk..!” teriak Alap-alap muda itu “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi”
“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.
“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?”
bentak Alap-alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut
Kriya yang kecil itu.
“Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih.
“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda’
“Tidak…” sahut Kriya.
“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.
“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang
aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan
dirinya.
“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya
sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu
tiba-tiba meluncur dari mulutnya “Yang datang berdua, yang pergi hanya
seorang”
“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut
mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu
mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak
kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa
Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata “Yang seorang
melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini”
Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan
demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap
Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat
hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan
sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak
“He dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu
mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin
menemuinya disegala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya
namanya saja yang pernah aku dengar. Disegala garis perang Untara pasti
berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana
orang itu” Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda “Alap-alap
kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi”
“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia
melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal
lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung”
Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.
Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia
lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap
Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan
perkelahian itu”
Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya “Kaukah yang melukainya?”
“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut anak muda itu.
Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya “Jangan mengelabui orang tua.
Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar
Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula”
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat
sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab “Jangan
memperkecil arti Alap-alap Jalatunda didaerah ini. Kenapa aku takut
kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil
mengalahkan mereka”
“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang.
Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itupun ia
berkata “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar
mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu”
kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata “kearah mana kuda yang itu?”
Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena
itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya “keselatan”
“Terus?” desak Plasa ireng.
“Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya.
“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya.
Alap-alap Jalatunda masih berdiri ditempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak “Pergi…!”
Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas
ia pergi kejalan kecil dimuka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian
terdengarlah derap kuda berlari.
Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia
mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan
tumpukan padi diatasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit.
Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir.
Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir,
apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng
membentak “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang
cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara.
Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah,
tunjukkan tempat Untara itu sekarang”
Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila
dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan
demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir
dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat
cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat
kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening.
Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang “Sayang
ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu”
“He..!” Plasa Ireng berteriak “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”
“Ia berada dirumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada ditanganku”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia
tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali
lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya.
Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba
berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam.
Untara tidak sadarkan diri.
Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu
dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir
dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan
pohon-pohonan yang masih basah.
Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat
terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan kencang,
namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu,
bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun
perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya
dengan kecepatan penuh.
Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya
menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan
sampai ke Bulak Dawa. Diujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah
pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu
alas. Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan
sekali lagi ia harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan
lurus langsung menuju Sangkal Putung.
Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu
randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong
oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan
membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian
Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah
kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang
sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja
menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal
dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk
mencekiknya.
Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah
sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang daerah
persawahan yang panjang. Bulak dawa.
Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang
dilangit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang
kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-daun padi yang subur
ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan sinar
bulan yang redup itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak
berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba
karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.
Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur
keselatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu
segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia
akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah
kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh
sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang
kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.
Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar
menghadang diujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik
kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu dimata
Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya
dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah
menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu.
Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat
keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini
kuda itu berhenti.
Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya
berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak.
Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya
diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya
adalah manusia paling sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama ini
amat
menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya
dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah yang mengerikan
itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat
mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata
Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.
“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri.
Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka
iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi
semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.
Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati
bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo
bermata satu. Jauh dibelakangnya berderap seekor kuda yang lain,
Alap-alap Jalatunda.
Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu
Alap-alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu
terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan
mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang
dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya.
Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande
besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu
tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti
mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil
jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh
lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itupun
memacu kudanya lebih cepat “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan
berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan
genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Ceritera itu pernah
didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati
Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar
seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang didepannya,
bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.
Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia
dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua
bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar
Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu,
kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak
muda itu.
Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur diatas punggung kudanya
yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora
perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu
tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia
mengeluh. Ditengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah
Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan
didadanya.
Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti
ditengah-tengah jalan diantara sawah-sawah yang terbentang sedemikian
luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya
derap kuda dibelakangnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik, “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”
Sedayu mencoba untuk menebak “Adakah kakang Untara” katanya seorang
diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya
dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata
sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang.
Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannyapun picik pula.
Katanya “Alap-alap Jalatunda tidak berkuda”
Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap
mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba
tumbuhlah didalam benaknya “Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu
menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama
menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti.
Pikirnya “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan
Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”.
Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam
kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada
didalam hatinya tinggallah “Bagaimana aku harus bersembunyi dibulak
ini?”
Derap kuda dibelakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat.
Ia tidak dapat menira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun dimalam yang
sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah
dibelakangnya.
Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak
dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun.
Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerebab ditanah yang
becek. Tertatih-tatihia bangun, kemudian berlari-lari terjun kedalam
parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu
sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak
mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang
ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar
kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian
berputar-putar dan berlari kencang-kencang kearah tikungan randu alas.
Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul dikelok jalan
dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun berdesir ketika
didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari
searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua
ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap
Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa dipunggung kuda itu tak ada
seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh
keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti
seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda” desisnya. “Alap-alap Jalatunda
tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara
sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut
hatinya terdengar jawaban “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang
terluka parah”
Alap-alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia
tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung.
Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu
tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung
alap-alap yang berteriak diudara. Kudanya itupun berlari semakin kencang
seperti gila.
Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya.
Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat diatas punggung
kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung
Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang
tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari itu
giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun
hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh
meledak-ledak didalam rongga dadanya.
Suara kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar.
Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat
dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan
akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu diujung
jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo
bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu
dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan ditengah-tengah bayangan
hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu
menarik nafas.
Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya
Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin
lama semakin menghunjam kepusat dadanya. Demikian takutnya sehingga
akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia
berdiri dan merangkak menaiki tepian parit.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu
berlari-lari kearah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya
membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang
itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak kearah
Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan
apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya.
Karena itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu
hampir sampai kepangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia
membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu
langkahnyapun terhenti.
Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia
menoleh, disepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara
itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu
menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari keparit ketepi
jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia
memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.
Ketika kuda itu muncul disiku jalan, Agung Sedayu baru mencapai
tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun
kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan
tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat dimuka
Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.
Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah
yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu
berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan da kembali merataplah ia di
dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.
Didengarnya orang diatas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian
didengarnya orang itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.
“He, jawablah” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa
itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang,
bersiaplah. Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi
sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara itu berkata pula “Kau tidak mau menampakkan dirimu.
Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”
Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba
ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang
itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah
topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan
sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka
berderailah tertawanya.
“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa?
Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang
biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian
lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo bangunlah”
Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya.
Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar
orang itu berkata lagi “Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat
menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh
kedatanganku. Kalau demikian aku terpaksa membangunkan kau”
Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba
untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat.
Bahkan orang itu kemudian berkata “Belum pernah aku menjumpai orang
seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak
dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem” orang itu
menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula “Bangunlah hai
pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku
curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”
Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu
ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika
orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa
juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu
mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk
menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya,
kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.
Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali
lagi ia tertawa nyaring “Ha” katanya “ternyata masih belum tega akan
hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur”
Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri
dihadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh
didalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu
menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah
diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap
Jalatunda.
“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya
masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang
menghampirinya dan
menolongnya berdiri. Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air”
Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan
seksama. Lalu katanya “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu
kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia
untuk bertempur?”
Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?” teriak orang bertopeng itu “Kau tidak mau berkelahi?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah
aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang
dipanggil demikian”
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap didalam dada Agung Sedayu
menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda.
Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat
terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun
tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak
kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu
mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat
melepaskan perasaan takutnya.
“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan.
Baik. Akupun tidak akan memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang
serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.
Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah
pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya
“Siapa?” katanya.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya “Namanya Ki Sadewa”
“He” Agung Sedayu terkejut “Kau sebut nama itu?”
“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian
benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun
juga” sahut kiai Gringsing.
“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He” orang itu terkejut “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.
“Pantas, pantas” gumamnya “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti
ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama
pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak “Bohong.
Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang
bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”
“Tidak” jawab Agung sedayu “orang itu benar-benar ayahku”
“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.
Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan?
Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa
ia telah menyebut nama ayahnya.
Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu.
“Tetapi” ia meneruskan “kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya
nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan
cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil
dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama
sekali tidak memerlukan keberanian. Karena itu Agung Sedayu sering
melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu.
“Baiklah” jawabnya.
“Nah” berkata Kiai Gringsing “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering
dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak
menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi “Aku sudah mulai” teriaknya.
Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan
oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun,
Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara
kedua batu itu beradu.
“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing “Didalam cahaya bulan yang hanya
samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki
Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menanatangmu”
“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku percaya” jawab orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram.
Ia merasa bahwa didalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak
dimiliki oleh orang lain.
Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu,
lamat-lamat didengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang
itu tiba-tiba kuncup kembali “Suara kuda” desisnya.
“Ya” jawab Kiai Gringsing “dari arah tikungan randu alas”
Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang
mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan
kembali anak muda itu menjadi gemetar.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara
derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya “Jangan hiraukan suara derap itu,
siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat”
Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu
terdengar kembali suara Kiai Gringsing “Anak muda, kecakapanmu
benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau
berlatih membidik?”
Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap
kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun
ia menjawab “Sejak kecil” Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa
kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu kehutan daripada berlatih
membidik dirumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut serta,
menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan
sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam
perlombaan memanah untuk anak-anak.
Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda
yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda” berkata Kiai Gringsing “agaknya kau tertarik sekali pada
orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku
pergi dahulu. Lain kali kita beremu”
“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak.
Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.
“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai
Gringsing “Kalau Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki
Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.
“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama
kakakmu?” sahut kiai Gringsing “Apakah Alap-alap Jalatunda itu bernyawa
tujuh rangkap?”
“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara “jawab Sedayu
yang segera disusulnya dengan terbata-bata ”Kiai, tolonglah aku” minta
anak muda itu.
Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang
bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia
tertawa. Katanya “Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam
perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain.
Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak”
“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu
ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa
ia berkata “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut”
Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya
“Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu
menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu
adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan
ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena
Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan
kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-alap Jalatunda
misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk
meluruskan jalannya”
Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda
itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap
bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya,
seekor kuda berpacu kearahnya.
“Itulah dia kiai” berkata Sedayu “Tolonglah aku”
“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik
dari aku” jawab Kiai Gringsing “Atau kau ingin mengenali aku dengan
melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak “aku takut”
“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya
menjadi bersungguh-sungguh “Seandainya kau bertempur melawan Alap-alap
Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah
menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak
membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya”
Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya “Aku tidak berani Kiai, aku takut”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya
keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak. “Baiklah” katanya “agaknya
kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku,
tetapi apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja
orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan
sekali, keatas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata “Jangan
berendam lagi didalam air Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang
itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri “Tak berhasil”
Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi
semakin dekat. Diatas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir
melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda
itupun telah melihat seekor kuda berhenti ditengah jalan. Karena itu,
timbullah pertanyaan didalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda
itu?”
Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu
mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung
Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang
“Dimana kau sembunyi kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia
memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu
pasti masih bersembunyi disekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi
ketika ia melihat seekor kuda berdiri dijalan itu, maka Alap-alap
Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu.
Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan
aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung”
Kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat,
dan Agung Sedayupun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing
berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-alap muda yang
garang itu.
“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing “Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”
Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun
akan mengalami bencana. Karena itu desisnya “Jangan Kiai, jangan kalah”
Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli.
“Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak
seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapapun lemah
lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu
sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha”
Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah
sedemikian dekatnya. Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik
kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja dihadapan
kuda Kiai Gringsing. Didalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng
berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya didalam
parit seorang lain berdiri gemetar “Ha” teriaknya kegirangan “Kaukah
itu?”
Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari
ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”
“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya “Dari mana kau tahu?”
“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.
“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan
perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap
Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing “Karena itu aku
harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing
dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu
menggeram “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku
dapat mengukur kesaktianmu”
“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.
“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah
kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak
terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang marah itu.
“Tidak” sahut Kiai Gringsing “Aku sama sekali tak berniat untuk
bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi
ketika aku lewat, anak muda itu mendekam didalam parit. Dengan serta
merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku
bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda
itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami
bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus
menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!” bentak Alap-alap Jalatunda “jangan membual” Suaranya keras
mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun
dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar
ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.
Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan “Kau memakai
topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah
seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi
itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng
itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa
maksudmu sebenarnya”
Kiai Gringsing menggeleng “Tidak” jawabnya “Tak seorangpun dapat
melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”
“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian
akan aku kelupas kulit mukamu itu”. Meskipun demikian timbul pula
pertanyaan didalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu
sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut
Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Tapi, adakah orang bertopeng ini
Untatra yang sedang menjebaknya? Alap-alap itu menggeleng “Tak mungkin,
Untara terluka”
Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak bicara” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian
marah “bersiaplah. Kau atau anak muda itu bagiku sama saja. Satu demi
satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua sekaligus. Mari”
Alap-alap itupun segera bersiap. Agaknya ia mau epat-cepat selesai
sehingga tiba-tiba saja ditangannya tergenggam pedangnya yang putih
berkilat-kilat.
“O” berkata Kiai Gringsing “baiklah. Karena aku yang harus bertempur
maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil
senjataku” Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban Alap-alap Jalatunda.
Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian “Apakah
kau akan bertempur diatas punggung kuda?”
Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai”
“Aku akan bertempur diatas tanah” sahut Kiai Gringsing.
Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.
Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti didalam mimpi. Ya,
hampir semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga
rasa-rasanya, apa yang terjadi itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi
apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-alap Jalatunda itu bukan
sekadar menakut-nakutinya didalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya
meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat
dinginnya.
Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan
Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada sebatang
cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap Jalatunda merasa
terhina memaki-maki “Setan topengan. Kau sangka leluconmu itu baik.
Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal.
Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan
yang aku lakukan. Didaerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat
ditegakkan setegak-tegaknya”.
“Kau benar” sahut Kiai Gringsing “Hukum didaerah perang seperti
Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi karena yang
berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak kehilangan
kemanusiaannya”
“Persetan” bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak sbar lagi.
Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan
pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat mengarah kedada orang
bertopeng itu. “Mampus kau” teriak Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu
hampir-hampir tak tampak bergerak, namun ujung pedang Alap-alap
Jalatunda tidak menyentuhnya.
“Gila” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi
semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia
menyerang lawannya.
Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap Jalatunda
itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya,
sehingga serangan Alap-alap yang garang itu selalu dapat dielakkan.
Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang
sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang
Alap-alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan
Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun adalah
sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap
sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya
bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus
apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset.
Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi
Alap-alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda
tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia
bertempur semakin garang.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena
kemarahan Alap-alap Jalatunda. Diatas tanah yang becek itu kaki-kaki
mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahanpun memercik seperti
hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang
bertempur.
Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari
lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai kepuncak langit. Karena itu
tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir fajar” bisiknya dalam hati.
Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku didalam
parit dengan sudut pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai
supaya Agung Sedayu tidak terlambat” kembali Kiai Gringsing itu berkata
didalam hatinya. Karena itu, maka tiba-tiba gerakannyapun segera
berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat
seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah
mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung
Sedayu “Sedayu, selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan
perjalanan. Hari hampir pagi”
Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku ditempatnya.
Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian
yang mengerikan itu.
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih
harus melayani Alap-alap Jalatunda. Sedang Alap-alap yang garang itupun
terkejut melihat perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula
masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena senjata
anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar
orang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka
timbullah berbagai pertanyaan didalam dirinya.
Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan
orang bertopeng yang berkeliaran didaerah inipun belum juga pernah ada
yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang
sedang menjebaknya, namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh
berbeda dengan cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur
dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan
untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap keprajuritannya. Tetapi orang
ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak
sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terkhir ia merasa, orang bertopeng
semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-alap Jalatunda
bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat
olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-debar. Apakah
kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu
menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari
kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat
tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi
terluka karenanya.
Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang
bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak
bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia bertempur berempat
dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya
itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang
aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap Jalatunda
“Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan
berselimut kain gringsing ini”
Alap-alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya
lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan
menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada
Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil
kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah
melindungi Agung Sedayu.
Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain
kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat
dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan pedangnya. Tetapi
tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia
berlari kearah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main
dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung
diatas punggung kuda itu. Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang
terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat
dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.
Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang melarikan diri itu.
Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan
yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu.
Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata “Bukankah aku menang?”
Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri,
maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan
embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda itupun menarik nafas
sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.
“Nah Agung Sedayu” berkata Kiai Gringsing “sekarang sebutlah namaku,
setelah kau melihat tata perkelahianku”Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya
jujur “Aku tak tahu Kiai”
Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah
orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu
dengan penuh kecewa. Gumamnya didalam hati “Sayang” Tetapi orang itupun
kemudian segera berkata “Sedayu, bukankah kau akan pergi ke Sangkal
Putung?”
“Ya” jawab anak muda itu “Dari mana Kiai mengetahuinya?”
“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu
mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam.
Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata
orang bertopeng itu.
“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan
demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan
dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah
diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya.
Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus “Nah, pergilah. Mumpung masih
ada waktu”
Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya.
Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal
Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun menjawab “Baiklah
Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang”
“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak”
“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana”
“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon
randu alas dikejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak diseluruh wajah
kulitnya. Tetapi ia malu untuk mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti
tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa. “Hem”
Agung Sedayu mengeluh. Meskipun demikian ia berkata “Aku akan
terlambat”
“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau
sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan
berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya
matahari yang pertama jatuh diatas pedukuhan itu”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu
seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara sebelum mereka
berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang bertopeng itu berkata
“Naiklah. Dan pakai kudaku”
Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.
“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu segera
menghilang disiku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam,
lirih dan hanya didengarnya sendiri “Kalau aku tidak memaksamu pergi
dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam didalam parit”
Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal
ditempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit
itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri ditempatnya. Semula
anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain
daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima
kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena
nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat
mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung
Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan
orang aneh itu terhadapnya.
Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum
pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu
menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.
“Nah” bisik Agung Sedayu, “Kawani aku ke Sangkal Putung”.
Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda itu. Dan dengan hati yang
berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal Putung. Dihadapannya
terbentang sebuah jalan ditengah sawah yang panjang. Dan diujung jalan
itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba untuk
melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus.
Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja
dihadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya. Dilekatkannya
tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga berlari
kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu.
Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat
kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat.
Agung Sedayu membuka matanya. “Hem” anak muda itu menarik nafas panjang.
Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh.
Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang.
Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata
lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapapun keinginan
mendesaknya. “Ah mungkin genderuwo itu takut karena aku putera Ki
Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-alap
Jalatunda itupun tak diganggunya.
Jalan dihadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini dihadapannya
dilihatnya paedukuhan yang kecil. Kali asat. Pedukuhan yang sepi itu tak
banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu
membelok kekanan sampailah ia kejalan lurus menuju Sangkal Putung.
Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat
juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua
kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.
“Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada
padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang tak
terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula.
Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi
sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku
bunuh mereka satu demi satu.” “Ah, tidak” bantahnya sendiri. “Setiap
orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak
istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak
menjadi orang yang baik”. Namun disudut hatinya yang lain berkata
“Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”.
Dijawabnya sendiri “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat
demikian pula, apakah bedanya? Alap-alap Jalatunda misalnya. Aku harus
memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar.
Bukankah ayah dahulu pernah berceritera, tentang seorang saudagar kaya
yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya
kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari
pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau
membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama
sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika
raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka.
Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar
itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak
dapat dibayarnya”.
Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang
disimpulkannya. Katanya didalam hati “Memang Tuhan tak akan memaafkan
kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain
kepada kita”
Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari
keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan orang lain yang telah
ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah ditundukkan, apalagi
disadarkannya dari kesesatan.
“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.
Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa
gemetar ketika dedengarnya sebuah terikan melengking. Tetapi ia menarik
nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara
burung engkak yang pulang kekandangnya, setelah semalam-malaman mencari
mangsanya.
“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya
kudanya semakin cepat. Dimukanya tampak sebuah pedukuhan seakan-akan
sebuah pulau yang mengapung didalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal
Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding telah
dilihatnya, dan disudut jalan tampak sebuah gardu perondan.
Agung Sedayu langsung berpacu kegardu itu. Ia tahu benar bahwa
digardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu
iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-alap Jalatunda.
Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang digardu itupun
segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan
kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun
segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.
Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu.
Seorang yang bertubuh sedang berhitung mancung maju kedepan dan bertanya
“Siapa kau?”
“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang “Aku akan bertemu paman Widura”
“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.
“Penting sekali. Hanya paman Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.
Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung
mancung itu berkata “Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?”
“Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.
“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.
“Berjalanlah dimuka” sahut Agung Sedayu.
Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh
kearah orang yang berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang
yang berhidung mancung itupun kemudian berkata “Anak muda, kami para
penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan,
bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas sampai digardu
ini”
“Oh” sahut Agung Sedayu “Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku
melupakan kebiasaan itu” dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu
meloncat dari kudanya.
“Nah” berkata pemimpin itu “Kami silahkan mengikuti orang-orangku
yang akan mengantarkan anakmas dan biarlah kuda itu disini”. “Baik”
jawab Sedayu “Terima kasih”.
“Marilah” ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun segera
berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak. “Silahkan”
katanya.
Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa
ia harus berjalan dibelakang orang pertama, kemudian orang kedua itu
berjalan dibelakangnya.
“Anak buah paman Widura sangat berhati-hati” katanya didalam hati. Namun
meskipun demikian, sekali-sekali ia menoleh juga kebelakang,
seakan-akan orang yang berjalan dibelakangnya itu akan menerkamnya.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur
jalan desa, diantara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah
mereka disebuah halaman yang luas. Pagar halaman itupun agak lebih
tinggi dari pagar-pagar disekelilingnya. Didepan halaman itu tampak
sebuah regol yang tertutup rapat.
Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu.
Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula didalam. Empat kali berturut-turut.
Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia
menjadi heran ketika orang yang dimukanya itu sekali lagi mengetuk pintu
itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itupun terbuka.
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
“Peronda digardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.
“Sekarang?” bertanya orang didalam halaman.
“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata “Marilah anak muda”
Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun
demikian ia berkata dengan ketenangan yang dibuat-buat “Ya. Aku akan
bertemu dengan paman Widura”
“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.
“Ya” jawab Agung Sedayu “Penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar”.
Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Ditimur
laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun
demikian orang itu tidak mau kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang
itupun bertanya “Siapakah kau?”
“Agung Sedayu” jawab Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing
bagi kami disini”
Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadaya”
“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir diseluruh
kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan
menemuinya” berkata orang itu tegas.
Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.
Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan keregol
halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?”
“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian
membungkukkan kepalanya “Selamat malam bapak Demang. Inilah seorang anak
muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai
besok”
Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu
bertanya “Kabar apakah yang kau bawa?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu
dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak
akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu teringat kepada
kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan
kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan dikenal
oleh orang-orang itu, katanya “Aku membawa berita dari kakang Untara”
“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut
yang mendengar nama itupun mengulang pula meskipun hanya didalam hati.
“Adakah angger ini utusan angger Untara?” bertanya Demang itu.
“Ya” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan. “Aku adiknya”
“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera membungkukkan
kepalanya. Katanya “Maafkan kami. Kami belum mengenal anakmas. Namun
nama kakak anakmas adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang anakmas
bawa pasti kabar yang penting”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya.
Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu
melimpah pula kepadanya.
“Marilah ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting”
Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung
itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju kependapa.
Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua orang berjalan dibelakangnya.
“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih “Dan kademangan
ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting
untuk menempatkan adi Widura disini meskipun daerah ini jauh dari garis
pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. “Sayang”
demang itu meneruskan “Persoalan antara Jipang dan Pajang harus
diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya adipati Jipang itupun
tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang disekitarnya
adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar
hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan.
Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya.
Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar”.
Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat,
dendam menyala dimana-mana. Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang
bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan
saling membunuh karena mereka berada dipihak yang berlainan?”
Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi
kata-kata demang Sangkal Putung itu. Tetapi didalam hatinyapun timbul
pertanyaan “Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu,
pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment