Buku 002 (Seri I Jilid 2)
Tetapi Agung Sedayu tetap membisu.
Dan Demang itupun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik kependapa.
Demikian mereka naik kependapa, dada Agung Sedayupun berdesir tajam.
Dilihatnya dipendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang
nyenyak tidur. Dibawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah-wajah
mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang diantaranya tumbuh
janggut, jambang dan kumis yang lebat diwajah-wajah mereka. Mereka
terbaring berjajar-jajar diatas tikar selapis. Namun tampaklah betapa
nyenyak mereka itu. Sedang disudut pendapa Agung Sedayu melihat beberapa
tangkai tombak dan didinding-dinding tersangkut pedang perisai dan
keris.
Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata.
Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa dipinggangnyapun
terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah keris itu akan berguna
baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi kakaknya memintanya
untuk membawa keris itu.
Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju
kepringgitan.Dipringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan
sebuah ruangan kecil. Diruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula.
“Disitulah adi Widura sedang beristirahat” berkata demang itu. Dan
tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah kata paman
Widura itu, kalau dilihatnya ia datang disaat-saat yang begini.
Demang itupun berbisik pula “Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya”
Namun Widura adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia
tertidur nyenyak, namun telinganya dapat bekerja dengan baiknya.
Sehingga demang Sangkal Putung itu sebenarnya tidak perlu
membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan pintu pringgitan itu
bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya.
Namun ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang
kepringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang, maka
hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera disadarinya,
bahwa kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak buahnya.
Ketika Ki Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati supaya
tidak megejutkan orang yang dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya
dari sisi warana, Demang itu tersenyum asam “Hem” desisnya, “Ternyata
aku tidak perlu membangunkan adi”
Widura sudah duduk disisi ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu
menjenguknya “apakah ada seorang tamu yang ingin menemui aku?” bertanya
Widura.
“Ya adi” jawab Demang Sangkal Putung “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok”
“Siapa?” bertanya Widura.
“Angger Agung Sedayu” jawab Demang.
“Agung Sedayu?” Widura terkejut, dan segera ia bangun dari
pembaringannya, sebuah bale-bale bambu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah
keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk terkantuk-kantuk hampir ia
tidak percaya. Desisnya “Kau Sedayu”.
Sedayu mengangguk. Jawabnya “Ya paman” .
“Sendiri?” pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya.
“Ya paman” jawab Sedayu pula.
Namun terpancarlah keheranan diwajah Widura. Seakan-akan ia tidak
percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang diri. Ditebarkannya
pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain.
Widurapun segera duduk dihadapan anak itu dengan penuh pertanyaan
didalam dadanya. Dan Sedayupun tidak menunggu pamannya itu bertanya
kepadanya. Katanya “Paman, aku disuruh kakang Untara untuk menemui paman
sebelum fajar”
“Untara?” bertanya Widura dengan kening yang terangkat. Sebab pasti
ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga Agung Sedayulah yang datang
kepadanya. Apalagi Widura telah mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia
mengenal anaknya sendiri. “Dimana kakakmu?”
“Nantilah aku ceriterakan paman” jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia
adalah seorang yang cakap dalam menanggapi setiap persoalan. “Ada yang
lebih penting dari kakang Untara”
“Oh” sahut pamannya “Apakah itu?”
Maka Agung Sedayu menyampaikan berita yang pernah didengarnya dari
mulut kakaknya dan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing,
meskipun ia sama sekali belum menceriterakan apa-apa tentang orang
bertopeng itu.
Widura mendengarkan berita itu dengan penuh minat. Diperhatikannya
kata demi kata yang keluar dari mulut Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya
“Kenapa Untara sendiri tidak datang kemari? Apakah anak itu sudah harus
kembali ke Pajang?”
“Belum paman” sahut Sedayu “Kakang Untara masih akan tinggal dirumah.
Tugasnya disekitar Jati Anom belum selesai” Dan dengan serba singkat
diceriterakannya bagaimana mereka berdua dicegat oleh pande besi Sendang
Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga Untara
terluka karenanya.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya “Kau dan kakakmu bertempur berpasangan?”
Agung Sedayu menggerutu didalam hatinya. Pamannya masih saja suka
menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal
Putung yang tegang itu. Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya,
namun ia malu mengakuinya dihadapan orang lain. Pamannya melihat
kesulitan itu, maka segera ia bertanya “Adakah Untara akan segera
menyusul?”
“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu “Luka itu agaknya parah juga”
“Baiklah” berkata Widura itu kemudian “Kami sangat berterima kasih
kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali kau
dapat berceritera tentang perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami
pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi
pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura
berkata “Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan
ini pula. Lumbung padi dan palawija serta segala kekayaan kita harus
kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat berarti bagi kita dan
bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang
bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk
bersama-sama mempertahankan lumbung itu?”
“Tentu adi” jawab Demang itu “Sebab apabila lumbung itu lenyap,
kamipun akan kelaparan, Isteri-isteri kami dan anak-anak kami. Dan
dengan demikian kamipun tidak akan dapat membantu perbekalan untuk
Pajang”
“Terima kasih kakang” sahut Widura “Siapkan mereka. Jangan
dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan diam-diam supaya
laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita. Tempatkan mereka
dihalaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita
akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan”
Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari
tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata dijalan-jalan desa. Tak
ada sebuah tengarapun yang terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak
dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah dicengkam
oleh kegelisahan.
Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap, para
pemimpin kelompok telah berkumpul dipringgitan itu. Seorang laki-laki
berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya yang panjang dibiarkan
terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa orang yang lain tampak
tenang-tenang dan berpakaian rapi.
Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi
kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan
dan bersih seperti kakaknya. Tidak disangkanya bahwa didalam laskar
Pajang itupun ada diantaranya orang-orang yang mirip bentuknya seperti
pande besi Sendang Gabus.
Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang
disampaikan Sedayu kepada mereka. Satu demi satu dan telah pula
ditambahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas
Sangkal Putung itu.
Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang
mencoba merenungkan dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan
tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang yang sudah setengah
umur duduk disudut ruang itu. Katanya “adakah Ki Lurah sependapat
dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa hari
yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”
“Ya” Widura mengangguk “Aku sependapat”
“Kalau demikian” orang itu meneruskan “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.
Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.
Widurapun kemudian menjawab ”Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin
oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan, kemanakan Patih
Mantahun”
Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang “Laskar di Karang Anom telah bergerak ketimur. Tidak kebarat”
“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk
mengelabuhi kita. Dan kitapun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh
Macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah
bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada kita”
Semua matapun kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima
kasih. Mereka mendapat kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam
oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.
“Kalau angger Untara sekarang ada disini” desis orang setengar umur disudut itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu.
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang dari
mereka, seorang yang berwajah tampan dan bergelang akar dipergelangan
kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu melihat senyum
itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.
Yang berkata kemudian adalah Widura “Kita tidak akan menunggu mereka.
Kita sambut mereka diprapatan Pandean. Kita pagari desa ini dengan
benteng pendem. Karena agaknya laskar mereka lebih besar, maka mereka
kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”.
Orang-orang itupun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang
setengah umur itu “Meskipun angger Untara tidak disini, bukankah telah
dikirim adiknya untuk menjinakkan Macan Kepatihan itu?”
Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang
setengah umur itu. Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan
dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat
orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan, namun mendengar
namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. Apalagi kalau ia harus
melawannya.
Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang
mengangguk-angguk dan bergumam “Tak ada bedanya. Untara atau adiknya”.
Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi wajah pamannya, seperti
seekor anak ayam yang minta perlindungan pada induknya.
Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena
itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya ia berkata “Sedayu, kami akan
berterima kasih sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku
kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini”
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Agung Sedayu baru saja
menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini terpaksa
bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda
sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia
beristirahat”
Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya
beberapa orang lain. Terdengar seorang diantara mereka berkata “Lalu
siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang garang itu?”
Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas karenanya.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura “Karena aku yang
bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan
Tohpati yang sakti itu”
“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan
Kepatihan, siapakah yang akan memimpin kami?” bertanya yang lain.
Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar
ditangannya itu berkata “Apakah aku diperkenankan melawan Macan
Kepatihan itu?”
Semua orang memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu
masih muda. Tidak saja muda umurnya, namun anak itupun belum lama
menggabungkan dirinya pada laskar Pajang yang dipimpin oleh Widura itu.
Namun memang dibeberapa pertempuran tampaklah ia melampaui ketrampilan
kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu telah diangkat
menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam laskar
Widura itu.
Widurapun tidak segera menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak
muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang bernama Sidanti itu sebagai
salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari lereng gunung Merapi.
Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya
“Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang
menakutkan itu sebanding dengan kesaktiannya”
Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala.
Widura yang telah berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh
terpancar pada wajah Sidanti. Maka meskipun dengan agak ragu-ragu ia
berkata “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi
ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat
bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat
menerkam, benar-benar segarang harimau belang”
“Ya” jawab Sidanti “Aku pernah mendengar ceritera itu. Tubuh Tohpati
dapat berubah menjadi asap dan bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu
masih kasat mata, akan aku coba untuk menangkapnya”
Widura mengangguk-angguk. Iapun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak
Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya,
sehingga orang menyebutnya dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga
mampu menangkap asap?
Kemudian berkata Widura itu “Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan
memberimu kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak sampai hati
melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua orang lain “Hudaya dan
Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan
kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak
menguntungkan baginya, jangan biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah
bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”
Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut,
tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak
mau melepaskannya. Katanya “Baiklah. Tetapi anak muda, jangan
bermain-main dengan harimau itu”
“Baiklah kakang” jawab Sidanti.
Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara
itupun tersenyum, katanya “Baiklah. Aku sudah lama tidak melihat
perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan angger Sidanti dapat
menyelesaikan pekerjaannya”
Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu
menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak
muda itu, atau mungkin karena Agung Sedayu sendiri tak memiliki
keberanian untuk melakukannya. Bahkan menyebut nama Tohpati itupun ia
tak berani.
Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata kepadanya “Adi
Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan pekerjaan yang seharusnya
dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat melaksanakannya dengan
baik. Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkan.
Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap Agung
Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya kemudian “Jangan tersinggung
adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur melawan pande besi
Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku
melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat menelan
lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu”
Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apa-apa.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Widura melihat keadaan itu. Maka katanya “Jangan berprasangka
Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam. Memang tabiatnya berbuat
demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak bermaksud
menyombongkan diri”.
Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya “Adakah Sidanti tidak cukup
berharga untuk mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak hanya sekedar
menganggukkan kepala. Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan
Alap-alap Jalatunda”
Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang
berkumis lebat menyahut “Sudahlah Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut
hanya karena salah paham”
“Aku tidak mulai” jawab Sidanti.
Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak
yang tampan dan tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali,
ya, mudah sekali tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu
tidak terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang sempat melihat wajah
Sedayu yang pucat.
Orang-orang yang hadir diruangan itu, yang sejak semula telah merasa
berhutang budi kepada Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang
dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak melayani kemarahan Sidanti.
Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum karenanya. Orang yang
berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan kata-katanya “Kau salah
paham Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada”
Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang
yang bertubuh kasar kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan
kehalusan budinya. Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra
Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan “Sidanti. Kau
masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi
menjadi pahlawan”
Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua
yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu
tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh. Karena dibalik senyum itu
tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu.
Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarut-larut segera
berkata “Adakah kita akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin
ribut-ribut soal yang sama sekali tak berarti? Cepat tinggalkan tempat
ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing. Kita segera
berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu”.
Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang
menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia sengaja mendahului,
berdiri dan melangkah keluar sambil berkata “Beristirahatlah
dipembaringanku Sedayu”
Orang-orang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah
keluar ruangan. Yang terakhir adalah demang Sangkal Putung.
Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik “Terima kasih
ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa
angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari
cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman
istrirahatmu anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan mengirimkan
seorang yang akan memberitahukan kepadamu, apakah ada diantara kita yang
mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorangpun yang mampu
melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon
perlindunganmu”.
Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak
akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia
takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itupun akan salah mengerti dan
menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. Karena itu, tanpa
setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata “Ya, ya, Bapak Demang”
Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal
Putung itu. Dengan tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya “Terima
kasih anakmas”
Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya
halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang
itu beberapa keterangan dan besiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal
Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan desa mereka,
lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan dearah mereka dari sergapan
laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka untuk
masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik. Yang berdiri
dipaling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu
tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya.
Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal
Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan namanya,
maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.
“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”
“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.
Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang didadanya
selalu tersimpan keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya
“Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan Kepatihan itu kebal?
Biarlah aku nanti mencoba melawannya”
Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Dalam laskar
adi Widura, seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”.
“Siapa?” bertanya anak muda itu.
“Angger Sidanti” jawab ayahnya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti.
Tetapi ia tidak berani melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar
pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba saja tangannya telah
terpilin kebelakang. Sidanti dapat bergerak secepat tatit.
Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.
“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku” pikirnya “Nanti pada
umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah melampauinya” Dan
Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha
menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa
Sidantipun dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu
mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap
hari. Dimana ada Sidanti berada bersama laskar Widura, maka gurunya
selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali.
Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu, apabila ia
berlatih terus, maka ilmunyapun akan masak dengan sendirinya. Sedang
bekal dari ilmunya itu diterimanya dari ayahnya, dari beberapa orang
sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamaipun
tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah
membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya
bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha
menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya.
Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.
Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama beberapa
kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan laskar Widura
menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut perbekalan
mereka.
Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar
Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung itupun mulai bergerak.
Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka
laskar itupun segera menyembunyikan diri dibelakang puntuk-puntuk, parit
dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu.
Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang
akar itu membelai senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung
tajam dikedua sisinya. Nanggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai
Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibangga-banggakan.
Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor ular yang saling
membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak belakang,
terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala
yang bernama Kiai Muncar itu.
Anak muda itupun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada
didalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir
diseluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya senjatanya,
seakan-akan ia bertanya kepadanya “Apakah kau akan mampu melawan senjata
Tohpati yang mengerikan itu?”
Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar
Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah tongkat baja putih. Diujung
tongkat itu terdapat sebuah logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk
tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya telah
mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya
dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.
Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya
“Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun,
maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. Karena itu, bila kau dapat
menangkapnya hidup atau mati, maka namamupun akan segera ditempatkan
tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang
yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang itu sendiri.
Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang baik dalam tataran
keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk
menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani
kelak menjadi urusanku”
Sidanti tersenyum. Terbayang didalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.
Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik
dibelakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan
terbungkuk-bungkuk kepadanya.
“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik.
Swandaru duduk disampingnya, dan dijawabnya lirih “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”
Sidanti mengangguk
“Sendiri?”
Kembali Sidanti mengangguk.
“Aku ikut” minta Swandaru.
“Jangan gila” desisi Sidanti.
“Kenapa?”
“Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung”
“Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua”
“Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu”
“Aku disini” bantah Swandaru.
Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan “Kembali. Atau aku tampar mulutmu”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu iapun diam.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara burung kulik.
Itulah pertanda bahwa laskar Macan Kepatihan telah dilihat oleh
pengawas.
“Kembali kekelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandarupun segera merangkak ke kelompoknya.
Widura telah berdiri dibalik sebatang pohon yang berdiri didekat
perapatan. Dari kelokan jalan diujung bulak yang pendek ia melihat
serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung.
Namun mereka tidak melewati jalan disimpang empat itu. Mereka segera
meloncati parit, dan menyusur pematang, memotong langsung menuju Sangkal
Putung.
“Mereka menyusuri pematang” bisik Ki Demang.
Widura tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir.
Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik untuk kedua kalinya. Karena
itu katanya “Bukan induk pasukan. Itulah cara Macan Kepatihan memancing
lawannya kearah yang keliru”
Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya “Macan yang cerdik”
“Macan itu memang berotak terang” sahut Widura. “Rombongan itu akan
menyerang dari arah utara. Mereka menyangka bahwa kita masih belum tahu
akan kedatangannya. Apabila kemudian laskarku dan anak-anak muda Sangkal
Putung menyongsongnya keutara, maka induk pasukannya akan datang, dan
melanda Sangkal Putung dari jurusan ini”
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan didalam dadanya, karena itu ia bertanya “Kita menunggu induk pasukan?”
“Ya “ jawab Widura.
”Bagaimanakah dengan orang-orang yang memintas diatas pematang itu?”
Widura berpikir sejenak “Sedang aku pikirkan” katanya. Dan sesaat
kemudian ia memanggil selah seorang anak buahnya “Sonya” katanya. Ketika
yang dipanggil telah berdiri disampingnya “Adakah kau masih jagoan
lari?”
Sonya memandang Widura dengan penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu
sampai Widura memberinya penjelasan. “Pancinglah orang-orang itu”
“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu.
Widura mengerutkan alisnya. Kemudian katanya “Mudah-mudahan
berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian dilanjutkannya
“Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil mereka seakan-akan
mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti,
beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk
menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi ragu-ragu. Nah
sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka hal yang sebenarnya.
Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang memintas itu adalah
laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus
berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak
seberat harus bertempur melawan mereka “Apa selanjutnya?” ia bertanya.
“Serahkan kepada kami” jawab Widura.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura masih memberinya
beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia hanya harus berlari ke Sangkal
Putung. Selebihnya tidak. Meskipun demikian, apabila rencana itu
meleset, maka ada juga bahayanya.
“Sekarang?” bertanya orang itu.
“Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura.
Sonya itupun kemudian merangkak, dan melompat kedalam parit. Setelah
ia menyusur parit itu beberapa puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya
sambil berteriak nyaring “Hei, siapa itu. Adakah kalian orang-orang
Sangkal Putung?”
Didalam kesepian ujung malam suara itu melengking seperti membentur
gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan dipematang itupun mendengar
suaranya. Serentak mereka berhenti dan memandang kearah suara itu. Pada
saat itulah Sonya meloncat dari dalam parit sambil mengulangi
pertanyaannya.
Rombongan yang tak begitu besar itupun berhenti. Mereka tegak
berjajar dipematang seperti wayang sedang disimping. Sesaat mereka
saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika mereka mendengar suara
Sonya berteriak “Hei dengar, desa kalian akan mendapat serangan. Lihat
sebentar lagi laskar itu akan datang”
Orang-orang dalam rombongan itupun saling bertanya-tanya. Siapakah
orang yang berteriak-teriak itu. Adakah ia orang Sangkal Putung? Tetapi
bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu telah melihat induk
pasukannya.
Dalam keadaan yang tiba-tiba itu, pemimpin rombongan tidak segera
dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka masih tegak diatas pematang
itu. Bahkan terdengar salah seorang diantara mereka bergumam sesama
“Siapakah dia?”
Kawannya menggeleng, jawabnya “Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan”
“Berbahaya” sahut yang lain.
“Ya” akhirnya pemimpin pasukan itupun berkata “Tangkap orang gila itu”
Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain masih diam mematung.
Widura melihat pertunjukan itu dengan hati yang tegang.
Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk pasukan itu muncul
dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, maka rombongan itu
pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus mengambil
kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan
melawan rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.
Ketika Sonya melihat dua orang datang kepadanya, maka katanya didalam
hati “Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku harus berlomba lari” Tetapi
Sonya tidak menunggu orang itu menjadi terlalu dekat. Tiba-tiba ia
berteriak “Hei, ternyata kalian bukan orang Sangkal Putung. Kalau begitu
kalian adalah laskar Jipang yang akan mencoba memancing pertempuran
disebelah utara Sangkal Putung. Sedang laskar yang datang kemudian
adalah induk pasukan.”
“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.
Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura yang
terakhir. Segera ia meloncat dan berlari kembali ke Sangkal Putung. Dua
orang yang akan menangkapnya itupun mengejarnya. Namun ketika Sonya
berlari lewat perapatan dan kedua orang itu mengejarnya terus, tiba-tiba
saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali.
Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang agak jauh,
mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya itu berlari dan kemudian
tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan perapatan.
Kawan-kawan merekapun melihat kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran.
Sedang Sonya yang sedang berlari itu berlari terus. Sekali ia
menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak dilihatnya lagi. Meskipun
demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain, maka iapun berlari
terus ke Sangkal Putung.
Pada saat itu, cahaya yang merah telah membayang di timur. Bersamaan
dengan munculnya sebuah rombongan lain dari balik tikungan. Demikian
orang-orang itu tampak dimata Widura, demikian ia meraba hulu pedangnya.
“Hem” geramnya “Itulah induk pasukan mereka”
Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-angguk. Dilihatnya
serombongan orang berjalan tak teratur, seperti habis menonton tayub.
Namun disadarinya, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Jipang yang tak
kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena
kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami adipatinya, sehingga
gugur, maka tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya.
Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda yang bertubuh tinggi
berdada bidang dan kekar terkejut ketika dilihatnya pecahan laskarnya
masih tegak dipematang. Dan dengan serta merta ia berteriak “Hei, kenapa
kalian masih disana?”
Pemimpin rombongan itupun menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab
terdengarlah tanda bahaya bergema dikademangan Sangkal Putung. Kentong
titir.
“Gila” umpat anak muda itu. “Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami”
“Mereka telah melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari mereka
mengetahui dengan pasti, bahwa induk pasukan akan menyusul” jawab
pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.
Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak “Dari mana kau tahu?”
“Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung sambil berteriak-teriak
tentang laskar pecahan ini dan induk pasukan” Sahut yang di pematang.
“Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?”
“Kami sudah berusaha. Tetapi gagal”
Rombongan itu tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak
lain adalah kemenakan patih Jipang Mantahun, yang bernama Tohpati dan
bergelar Macan Kepatihan itu mengerutkan keningnya.
“Berhenti ditempat kalian!” teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama
ia melihat jalan yang terbentang dihadapannya. Jalan itu sepi, namun
kesepian itu terasa tegang. Macan Kepatihan adalah seorang yang cerdas
dan cermat disetiap garis peperangan. Karena itu tiba-tiba ia berkata
nyaring kepada yang masih tegak dipematang “Jalan terus, kamipun akan
mengikuti jalanmu itu”
“Bukan main” desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti demit”
Demang Sangkal Putung itupun menggeleng-geleng pula. Katanya “Apakah yang akan kita lakukan?”
Widura sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata
“Kita harus cepat mulai, sebelum jarak diantara laskar kita dan laskar
Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian rencana kita sudah gagal,
namun sebagian besar belum. Kita pasti akan dapat mencapai hasil seperti
apabila mereka berjalan tepat dimuka hidung kita”
Widura segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah
kerikil kepada seseorang disampingnya sebagai perintah. Kemudian
terdengarlah bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk
menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu, masih belum terlalu dekat.
Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan Kepatihan itu tidak akan lewat
disimpang empat.
Kepada Ki Demang, Widura berkata “Bapak Demang, bawalah anak-anak
Sangkal Putung langsung memotong laskar mereka yang terpisah. Mereka
pasti akan kembali dan berusaha membantu induk pasukannya. Pecahan itu
pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya dipakai sekedar untuk
mengelabuhi lawan-lawannya”.
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Widura melemparkan kerikil
untuk kedua kalinya. Dan kembali terdengar bunyi burung tuhu
berturut-turut tiga kali.
Sindanti tersenyum. Iapun telah tegak dibelakang pohon aren itu.
Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak
menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang itu disambutnya
dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung
kearah Macan Kepatihan.
Tohpati terkejut mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang
segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi
burung yang sebenarnya. Karena itu iapun segera berteriak nyaring
“Siapkan senjata kalian!”
Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima
sergapan. Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh
seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba saja dihadapan mereka, muncul
laskar Widura berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit. Karena
itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka adalah
prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka dapat menguasai diri
mereka, dan dengan tangkasnya mereka mencabut senjata-senjata mereka.
Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali
ini telah diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia
berteriak nyaring, katanya “Bagus, kalian ternyata menyambut kedatangan
kami. Ayo, majulah!”
Kedua laskar itupun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih
mapan dari lawannya. Mereka sudah lama bersiap untuk bertempur, sedang
laskar Tohpati itu harus mempersiapkan diri dengan tergesa-gesa. Tetapi
Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan terdengar ia memberi aba-aba
kepada pecahan laskarnya “Jangan kembali, langsung kejantung Sangkal
Putung. Bakar setiap rumah yang ada disana dan bunuh semua orang!”
Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah perhatian
lawannya. Karena itu iapun berteriak pula “Swandaru, cagah mereka.
Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain tetap pada rencana!”
Swandarupun segera meloncat dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya
ia memutar pedang bertangkai gading ditangannya. Terdengarlah anak itu
berkata “Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Kau dengar perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya.
“Adakah Macan Kepatihan itu disana?” bertanya anak itu pula.
“Tak ada waktu untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera”
Swandaru yang gemuk itupun kemudian berlari, seperti roda yang
menggelinding ditanah-tanah yang becek. Sambil mengangkat pedangnya
tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti sedang menghalau burung pipit
yang mencuri padi disawah. Kawan-kawannya yang melihat Swandaru itupun
segera berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka berteriak-teriak
pula memekakkan telinga.
Meskipun demikian, namun anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan
anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara
Pajang dan Jipang kian memburuk, mereka telah menentukan sikap. Dibawah
asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin kademangan, mereka melatih diri dengan
tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura berserta laskarnya.
Anak-anak itupun menjadi semakin bernafsu melatih diri. Karena itu, maka
merekapun mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan
senjata-senjata mereka.
Namun demikian, Widura tidak melepaskan anak-anak itu, dibawah
pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian demang Sangkal Putung itu
sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang yang terlatih itu,
meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan. Karena itu,
maka beberapa orangnyapun diperintahkannya untuk membantu mereka, serta
untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena
kekalahan-kekalahan kecil.
Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura itupun menggertakkan giginya.
Percayalah ia kini, bahwa Widura tidak akan mudah ditipunya. Rencananya
yang sudah disusun masak-masak itu, ternyata dapat diruntuhkan oleh
Widura. Bahkan usahanya yang terakhir, mempengaruhi tekad perlawanan
musuhnya itupun dapat dipatahkan pula oleh pengaruh kata-kata Widura
itu. Karena itu, maka kesempatan yang pendek itupun dipergunakannya
baik-baik. Semula ia akan menarik suatu garis datar langsung menghadapi
laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itupun laskar yang cukup masak.
Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena kebingungan beberapa orang
pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan antara mereka. Beberapa
orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat
oleh Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari lambung.
Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian
laskarnya kesatu sisi, dan dibuatnya sebuah garis pertahanan yang
lengkung. Wulan Punanggal.
Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya.
“Luar biasa” desisnya “Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh
gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?”
Kemudian Widura itupun melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup
diantara kesibukan laskar kedua belah pihak yang sudah mulai terlibat
dalam pertempuran.
Anak muda itu langsung menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang
berkeliling. Dengan cermat ia mengawasi keadaan medan, dipelajarinya
kedudukan laskarnya dan kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula
pecahan laskarnya ditengah-tengah sawah yang juga sudah melakukan
perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang melanda mereka
itu seperti banjir. Dengan semangat yang menyala-nyala anak-anak muda
itu bertempur. Ternyata, meskipun Swandaru harus berhadapan dengan
prajurit-prajurit Jipang, namun kekuatannya benar-benar berpengaruh atas
pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan. Setiap usaha
untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu terpental
jatuh.
Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat kehadapannya
sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata “Selamat pagi
Tohpati. Bukankah kau yang bernama Tohpati dan bergelar Macan
Kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya “Apa maumu?”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada didalam pertempuran”
“Bagus” seru Tohpati. “Mana paman widura?”
“Aku akan mewakilinya” jawab Sidanti.
Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari Widura diantara
laskar lawannya. Sebelum pecah perselisihan Jipang dan Pajang, Widura
telah dikenalnya. Dan kini ia ingin mencoba, apakah Widura masih
segarang seperti pada masa-masa lampaunya.
“Siapa yang kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti.
“Pergilah!” bentak Tohpati. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh
adalah paman widura. Aku tidak ada waktu berkelahi dengan
kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri Tohpati itu
melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya.
“Selesaikan anak ini” katanya.
Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk
pertempuran disekitar mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena
itu, maka anak buah Tohpati itupun segera menyerang Sidanti dengan
sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Tohpati itupun terbeliak.
Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata,
Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak
terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya
dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian
tubuhnya terbanting ditanah.
“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Sidanti.
Wajah Macan Kepatihan itupun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.
Sementara itu langitpun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari
pagi tampak seakan-akan berloncat-loncatan diujung-ujung senjata. Dan
karena itulah maka kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada
ujung pangkalnya ditangan Sidanti itu. Tohpati itupun terkejut.
Terdengarlah ia menggeram parau “Tambak Wedi”
Sidanti masih tersenyum. Jawabnya “Kau kenal nama itu?”
“Ya” sahut Macan Kepatihan. “Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya”
Sidanti mengangguk, “Kau benar” katanya.
“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak Wedi telah mengkhianati pamanku. Orang
itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun ketika terjadi bentrokan
antara Jipang dan Pajang ia mengingkari persahabatannya. Bahkan kini
muridnya ditempatkannya dipihak Pajang”
“Jangan merajuk” jawab Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan hancur”
“Pamankupun berkata demikian” potong Tohpati cepat-cepat. “Orang
semacam Tambak Wedi pasti tidak akan mempunyai kesetiaan pada suatu
sikap. Kau pernah melihat batang ilalang? Nah, itulah dia. Bila angin
bertiup keutara, maka tunduklah ia kearah angin itu, bila angin kemudian
berputar keselatan, batang ilalang itupun berputar pula”
“Cukup” teriak Sidanti. Betapa tersinggung mendengar kata-kata
Tohpati. Karena itu iapun segera bersiap dengan nenggala yang dinamainya
Kiai Muncar.
“Senjata itu ada ditanganmu sekarang” berkata Tohpati pula, “Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat mempergunakannya”.
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.
Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan. Meskipun demikian
Tohpati itupun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi
Tohpati adalah seorang prajurit yang berpengalaman dalam pertempuran
bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Sidanti
itu sama sekali tidak mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu
pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat memanfaatkan kedua
tajam senjatanya diujung dan pangkalnya itu. Nanggala itu berputar
seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga
yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba
dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan
dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.
Tetapi senjata Tohpati tidak kalah mengerikan. Tongkat baja yang
gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi, seakan-akan dari tongkat itu
berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur disekitar tempat
perkelahian itu. Dan diujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah
leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan.
Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap ditubuh lawannya, maka
akibatnya adalah maut. Itulah kepala tongkat Tohpati, yang dibuatnya
dari besi kuning berbentuk tengkorak kecil.
Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya
mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar
didalam dada masing-masing.
Disekitar merekapun pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan
penuh kesungguhan memimpin anak buahnya hampir disemua tempat. Orang itu
dapat menyusup disegala titik pertempuran. Karena itulah maka anak
buahnya menjadi berbesar hati, sebab setiap kali dilihatnya pemimpin
mereka yang perkasa itu ada disampingnya.
Ditengah sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari induk
pasukannya itupun bertempur dengan sengitnya. Anak-anak muda Sangkal
Putung benar-benar mengamuk sejadi-jadinya. Mereka merasa bahwa hari
depan mereka, bahkan hari depan kampung halamannya sedang terancam.
Apabila mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk seterusnya
mereka akan kehilangan masa depan mereka. Sebab akibat dari kehancuran
kampung halamannya kali ini, akan panjang sekali. Kesedihan,
kemelaratan, paceklik yang panjang karena lumbung-lumbung mereka akan
habis dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain. Ibu-ibu
mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula
karenanya.
Meskipun demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit yang
terlatih. Itulah sebabnya maka kadang-kadang mereka menjumpai
perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga. Untunglah bahwa
diantara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. Jagabaya
Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah
bekas prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan
tanggung jawab ada pula diantara mereka. Meskipun batapa berat hati
Demang itu melihat darah yang harus tertumpah. Namun akhirnya
disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang ditangannya harus diayunkan,
apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula diantara
mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat memimpin mereka dalam
keadaan-keadaan sulit.
Tohpati yang terikat dalam pertempuran dengan Sidanti menggeram
marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas.
Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura berloncatan kian kemari hampir
diseluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya.
Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan
tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya.
Sidantipun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan
Kepatihan itu. Namun kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang
namanya ditakuti oleh hampir setiap orang Jipang dan Pajang. Betapa
Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya oleh gurunya, namun kini
ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat melampaui, bahkan menyamaipun
tidak, atas Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit Sidanti merasa,
bahwa lebah kuning itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya.
Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang
dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak itu.
“Setan” Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habis-habisnya didalam
hati. Ternyata Macan Kepatihan itu benar-benar melampaui dugaannya.
Orang itu benar-benar dapat bergerak demikian cepatnya, sehingga orang
menyebutnya – Tohpati dapat berubah menjadi asap.
Meskipun demikian, betapapun garangnya Macan Kepatihan itu, namun
tidaklah terlalu mudah untuk mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki
Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak lekas berputus asa. Dikerahkannya
segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap melawan Macan Kepatihan
itu betapapun berbahayanya.
Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin
lama semakin mendekat. Tongkat baja putih berkepala kuning itu kian lama
kian cepat seperti nyamuk yang berputar-putar ditelinganya. Karena itu,
maka kemudian Sidanti terpaksa beberapa kali melangkah surut, semakin
lama semakin dalam dibelakang garis semula.
Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya.
Sebab disamping anak muda itu bertempur Hudaya dan Citra Gati.
Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk setidak-tidaknya meringankan
tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih
tetap berputar-putar disepanjang garis pertempuran. Karena itulah maka
kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada dalam keadaan yang lebih
baik dari lawannya.Hudayapun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah
menjadi kewajibannya untuk ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu
segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan menyerahkannya kepada
beberapa orang lain.
Dengan garangnya orang yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi
rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sidanti
dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia menyerang sambil berteriak
“Sudah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main”
Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram. Kemarahannya telah
membakar segenap syarafnya. Dengan geramnya ia memjawab “Ayo majulah,
kenapa Widura tidak kau bawa serta”
Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa.
Namun didalam hatinya tumbuhlah kebimbangan atas usahanya membantu
Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia berusaha mengusir setiap anggapan
yang pernah didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, namun ketika sekali
tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya berkata didalam
hatinya “Pantaslah orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan
senjatanya terasa seperti membekukan segenap urat darah” Walaupun
demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga
keadaanya, namun ia harus berjuang.
Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian itu,Citra Gati
tersenyum. “Hem, desisnya alangkah sombongnya murid Ki Tambak Wedi.
Namun akhirnya orang-orang tua juga harus ikut menghadang bahaya. Kalau,
ya kalau, Untara ada diantara kita.” Tetapi Citra Gatipun tidak sampai
hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera
menyelinap diantara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya “Kita
yakin atas kemenangan kita, majulah.”
Kemudian Citra Gati itupun berdiri didalam lingkaran pertempuran itu.
Dengan tangkasnya ia berloncatan di sela-sela senjata lawannya. Dengan
sebuah pedang ia mencoba untuk melawan Tohpati bersama-sama dengan
Hudaya dan Sidanti.
Tetapi anak buah Macan Kepatihan itupun tidak membiarkan pemimpin mereka
mengalami cedera karena beberapa orang telah bertempur bersama-sama
melawannya. Karena itu dengan serta merta dua orang lainpun segera
melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan demikian, keseimbangan
perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga belum berubah. Sebab
Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha memusnahkan setiap
serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka kesempatan
untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang duharapkan. Demikian
agaknya orang-orang Jipang itupun telah bersiap pula apabila
pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu.
Keadaan Sidantipun semakin lama semakin menjadi sulit. Hudaya dan
Citra Gati bahkan kemudian tak dapat diharapkannya lagi. Setiap orang
Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan
mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru.
Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar
lawannya dari ujung-keujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang
bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung itupun akhirnya terpaksa
beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri yang menyadari
tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri
disekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada
kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.
Ketika Widura melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah
dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama sekali tidak berhasil
membantunya dengan leluasa, Widurapun menjadi cemas. Karena itu segera
ia meloncat,menyusup diantara pertempuran itu mendekati Sidanti yang
telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu, telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya.
Lawan yang bukan saja ditemuinya digaris pertempuran ini, namun dendam
gurunya kepada guru anak itupun telah memaksanya untuk bertempur sekuat
tenaga.
Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong
beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan
derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis
dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada disampingnya.
Desisnya sambil menyilangkan pedangnya dihadapan dadanya “Aku terpaksa
agak lambat menyambutmu Angger.”
“He” teriak Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan
tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala
yang dasyat itu kali ini tak akan mampu melawan tenaganya, karena
kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya bahwa pedang
yang bersilang dimuka dada Widura itu terayun dengan cepatnya memukul
tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah.
Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya.
Namun meskipun demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh
pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti terdorong beberapa langkah
surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis menahan pedih yang menyengat
pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api yang dilekatkan pada
kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa darahnya
meleleh dari luka.
“Setan” desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat
nadinya. Namun tangan kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari
persendiannya, sehingga tangan itu dengan lemahnya tergantung disisinya
tanpa dapat digerakkannya.
Sidanti menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi
kini tanaganya telah susut lebih dari separo. Setelah ia memeras
tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka pula. Karena itu, maka
Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan kemarahannya kepada
Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau Sidanti harus menerima kenyataan yang
berluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya, bahkan
pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap
untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan
demikian maut telah berkisar dari dirinya.
Meskipun demikian, Sidanti masih mencari sasaran untuk menumpahkan
kemarahannya. Dengan senjatanya ditangan kiri anak muda itu kemudian
melawan siapa saja yang berani datang mendekatinya. Walaupun telah
terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya.
Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan.
Katanya “Paman Widura, kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid
penghianat itu. Karena itu, kau memberi kesempatan, atau kau sendiri
yang terbunuh”
“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura “adalah sudah sewajarnya bahwa
sekali kita berhasil mengorbankan lawan kita, namun kali yang lain kita
kehilangan kemungkinan itu. Kini kau kehilangan Sidanti, namun kau
menemukan aku disini. Nah, jangan cari yang tidak ada”
“Bagus” teriak Tohpati “Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang menyambut aku”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat
kemampuan yang ada padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang
sakti. Meskipun demikian, Widura kini sedang mengemban kewajibannya
sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus melawan, betapapun sakti
musuhnya itu.
Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat menghadapi lawannya dengan
tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya berada dalam keadaan yang
lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit laskar Widura itu
dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau pasti
mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.
Widura dan Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru.
Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga
Widura, namun Widura adalah prajurit yang berpengalaman.
Telah berpuluh bahkan beratus kali dihadapinya lawan-lawan yang
tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia masih tetap hidup. Karena itu
maka walaupun Tohpati adalah seorang yang sakti, namun Widurapun
memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian pertempuran
itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar
melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi
dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan
korbannya. Namun pedang Widurapun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang
Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi
pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. Namun
setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan
berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam dipunggungnya, tetapi
ujungnya runcing melampaui ujung jarum.Disudut-sudut pertempuran yang
lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin berada dlam
keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak lawannya
dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut.
Bahkan laskar Tohpati yang bertempur ditengah-tengah sawah itupun
kemudian semakin bergeser mendekati induk pasukannya. Mereka kemudian
menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti
orang-orang kerasukan setan. Sedang diantara mereka terdapat pula
orang-orang yang memiliki pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai
laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang menyala-nyala dan otak
yang berpengalaman, menjadikan rombongan anak-anak muda Sangkal Putung
itu benar-benar mengerikan.
Namun keadaan Widura tidak sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga
Sidanti, akhirnya Widura terpaksa mengakui bahwa Macan Kepatihan itu
benar-benar perkasa diatas segala orang yang pernah dilawannya. Tetapi
Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah orang yang terakhir
yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apapun yang akan terjadi
pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widurapun segera
mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia
berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah
benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka
keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.
Ternyata perhitungan Widura yang berpengalaman itupun terjadi. Setiap
kali Tohpati dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah
teriakan maut dari anak buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu
anak buahnyapun rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang ganas itu,
ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak
menyenangkan. Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin
memuncak. Widura itu harus segera dibinasakan. Kemudian ia harus
membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan
dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya
itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah
lawan yang perlu diperhitungkan.
Karena itulah maka Tohpati itupun segera mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi betapapun juga, Tohpati tak dapat membutakan matanya serta
menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang
terjadi diantara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa Widura kini hanya
tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan iapun telah berusaha melawan
waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap
kali ia mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya
terbanting ditanah dengan darah menyembur dari lukanya, maka hatinya
berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak
akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk hasil yang belum
pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu membuat perhitungan
untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil membunuh Widura
dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih cukup banyak untuk
melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah orang-orang yang
cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak
segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang
besar bersama-sama.
Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya
kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati
mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia
harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari
keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang
ada, Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan
putih itu benar-benar seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung
didalamnya nafas maut.
Widurapun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi
semakin terasa asap putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat
baja putih yang berwarna kuning itu semakin lama terasa semakin dekat
dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah. Karena itu ia
masih tetap tenang apapun yang terjadi.
Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itupun terkejut ketika
dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang terayun dengan
derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung disekitarnya.
Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak memperhatikannya
terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk menghantam pedang
yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit.
Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik benturan, dan terlepas
dari genggaman. Namun Macan kepatihan itupun terkejut bukan kepalang.
Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai kekuatan yang
luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat
seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil
pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu
nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat dengan penuh
kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar tongkatnya dan
menyerangnya.
Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak “Swandaru, jangan gila. Pergilah”.
Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu
tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak
cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju, dan menyerang Tohpati dengan
ujung pedangnya. Tohpati terpasa melawan pedang yang terjulur langsung
kedadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru. Sesaat
kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk
membinasakan Widura.
Swandaru kini melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga.
Ternyata bahwa kekuatan saja, betapapun besarnya, tidak akan bermanfaat
apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, ilmu gerak, ilmu
ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah ilmu
pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia
tidak tahu , bahwa disamping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati maupun Widura
telah mempergunakan ilmu yang dapat mengungkat kekuatan-kekuatan yang
tersembunyi didalam tubuh mereka masing-masing. Karena itu, meskipun
Swandaru mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia
membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih Tohpati yang sedang
berputar itu, maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti. Lalu
bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, seandainya orang itu dengan
sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya?
Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang
waktu perlawanan Widura. Dengan demikian korban dikedua belah pihakpun
semakin bertambah-tambah. Apalagi dipihak laskar Tohpati. Karena itu
maka Tohpatipun segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan
orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat keuntungan apapun apabila
ia memperpanjang perlawanannya. Rencana yang disusunnya benar-benar
telah hancur berantakan. Maka yang kemudian dilakukan oleh Macan
Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari ikatan
pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak “Tinggalkan
pertempuran. Segera!”
Laskar Jipang itupun adalah laskar yang terlatih. Merekapun tahu
benar, bagaimana mereka harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang
pemimpin kelompok segera tampil kedepan melindungi anak buah mereka yang
berloncatan mundur. Tohpati itupun kemudian meloncat kian kemari,
seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan
tangkasnya ia memotong laskar pajang yang berusaha mengejar anak buahnya
yang melarikan diri. Dari antara laskar Jipang itu kemudian tampillah
orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan panah.
Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan,
sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat
kambali Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap
kali Macan Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia
terus-menerus berusaha menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin.
Laskar Widura sudah pasti tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka
menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka mendesak terus. Namun laskar
Tohpati itupun tidak berlari bercerai-berai. Mereka mundur dengan
teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. Sehingga dengan
demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu
garis ke garis berikutnya.
Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu
contoh dari seorang pemimpin yang baik. “Kenapa anak muda itu masih
belum menyadari keadaan” gumamnya. “Apabila demikian, Pajang akan segera
berkembang dan sentausa”
Laskar Tohpati itupun kemudian mencapai sebuah desa dibelakang garis
perlawanan mereka. Demikian mereka melampaui pagar yang pertama,
demikian mereka pecah berpencaran diantara pohon-pohon yang tumbuh
disana-sini. Diantara pohon-pohon liar dihalaman yang kurang terpelihara
dan diantara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sehingga laskar Widura
itupun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka
harus berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada
disekitar mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat
persembunyian dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam
mereka. Dengan demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari
satu pohon ke pohon lain, dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun
keadaan laskar Tohpati menjadi bertambah baik. Mereka menyerang dan
kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang mengejarnya,
kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan
serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul.
Widura segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah
berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan
dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa kedua laskar itu
bertempur kembali ditempat yang terbuka, namun korban akan menjadi
sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak memerintah “Hentikan
pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap
pimpinan kelompok laskarnya.
Demikianlah maka laskar Widura itu berhenti. Segera mereka menarik
diri dan berkumpul kembali diluar desa itu. Ketika mereka menengadahkan
kepala mereka, mereka melihat bahwa matahari telah berada diatas kepala
mereka.
Widurapun kemudian mendengarkan laporan dari setiap pemimpin
kelompoknya. Seiapakah yang cedera diantara mereka, yang terluka dan
yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka.
Hari itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar
Widura kemudian, beserta orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara
mereka yang terluka. Kawan maupun lawan. Sebab bagi perawatan
perikemanusiaan, tak ada batas diantara kawan dan lawan. Apalagi
diantara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari
mereka adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk
menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa
bertemu dalam sebuah permainan senjata yang berbahaya.
Ketika iring-iringan laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah
desa itu menjadi sepi. Ternyata perempuan dan kanak-kanak telah
berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-laki yang meskipun sudah
melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga dihalaman dengan senjata apa
saja ditangan mereka.
Ketika mereka mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak
muda mereka datang, segera mereka membuka regol yang mereka kancing
dengan palang kayu.
Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong kawan-kawan yang terluka.
“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.
“Baik tuan” jawab yang ditanya, “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari”
“Bagus” sahut Widura. “Siapakah yang berada dikademangan?”
“Setiap laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang
itu dengan bangga. “Sebagian dikademangan dan sebagian di lumbung desa”
“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.
Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula “Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”
“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”
“Mampuslah mereka” geram orang itu.
Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab.
Ketika laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman
itu. Beberapa orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka
yang datang dengan kebanggaan didada mereka. Namun ada juga yang
terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka jatuh menjadi banten
kampung halaman.
“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang
mendengarnya, hanya dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka
berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak
membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh
itupun akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis “Alangkah kejamnya
orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat
dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.
Maka, dipendapa kademangan itu, diatas helai-helai tikar pandan,
berbaring berderet-deret orang yang terluka. Sedang orang-orang lain
sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur.
Sedayu, yang berada dikademangan itu pula, ketika didengarnya
pamannya kembali dari peperangan, segera menyambutnya. Dengan wajah
pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya masuk kepringgitan.
Terbata-bata ia bertanya “Bagaimanakah dengan laskar Jipang itu paman?”
Widura tersenyum. “Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan.
Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura
berjalan kesudut ruangan, meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah
ia sepuas-puasnya.
Ditangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya.
Sekali-sekali tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun
demikian ia masih sempat tertawa dan berkata kepada Citra Gati yang
duduk disampingnya “Untunglah, bukan kumisku yang terkelupas”
“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya
yang terkilir, ketika ia berguling-guling menghindari serangan tongkat
putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba teringatlah olehnya betapa tengkorak
kuning diujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya. “Ngeri”,
gumamnya.
“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.
“Tengkorak itu” jawab Citra Gati.
Kembali Hudaya tertawa. “Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu
menyerang aku, aku menjadi gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari
bahaya tongkat baja putih itu?”
“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan kemudian keduanyapun terdiam.
Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian, apabila diingatnya senjata
Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara.
Sidanti tidak tampak duduk diantara mereka. Anak muda itu segera
pergi ke dapur. Ditemuinya disana seorang gadis yang mula-mula sedang
sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi ketika dilihatnya Sidanti
datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan tergesa-gesa
diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda itu.
“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas.
Sidanti mengangguk. “Tidak seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak
begitu parah, meskipun tangan kanannya masih belum dapat digerakkan
dengan leluasa.
Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil “Mirah, Sekar Mirah”
Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya “Kakakmu memanggil”
Sekar Mirah menyerutkan keningnya “Biarlah. Kakang terlalu manja”
Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru “Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”
“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.
“Ayo carikan” bentak kakaknya. “Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.
Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti “Jangan terlalu manja Swandaru”.
Mendengar suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu
“Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda
itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani
memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal
bersama Sidanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah
diaduk-aduknya setumpuk kain digelodog pakaiannya. Dan akhirnya
ditemukan juga kain parangnya.
Ketika ia berlari-lari keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu
langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar Mirah sedang membersihkan luka
Sidanti dengan asyiknya, dibawah rimbun daun kemuning. “Gila” geramnya
perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali
masuk kedapur dan berlari kependapa sambil menyambar sepotong paha ayam.
Dipringgitan, Widura kini sudah duduk dimuka Agung Sedayu. Dengan
cermat diceritakan apa yang terjadi digaris pertempuran. Akhirnya Widura
itu berkata “Sebenarnya kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara,
sebab dengan demikian kami telah kalian bebaskan dari kehancuran
mutlak”
Keduanya kemudian berdiam diri. Namun dihati Sedayu masih belum
tenang benar. Karena itu ia bertanya “Tetapi, dengan demikian, tidakkah
ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang kembali?”
“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya iapun kecewa terhadap hasil yang
dicapainya. Namun kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah
yang sebesar-besanya dapat dicapai.
“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.
“Bukankah disini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.“Ah” Sedayu mengeluh.
Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya “Adakah kau sempat beristirahat?”
Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada
pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya dengan baik. “Aku menjadi
gelisah” Sedayu meneruskan “Ketika aku mendengar tanda bahaya, maka aku
tak dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring”
Widurapun kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan
sesaat kemudian duduklah diatara mereka Ki Demang Sangkal Putung.
Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat diwajah itu belum sempat
diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. Basah oleh
keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua kademangan Sangkal
Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil
berkata dalam, “Angger, kau telah membebaskan daerah kami, kampung
halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami lakukan untuk
membalas jasa anakmas ini”.
Sedayu menjadi bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk
menyambut tangan Demang Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu
gemetar, dan tangannya sendiripun gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat
menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin bingung ketika
Demang itu berkata “Ternyata anggerpun tidak sampai hati membiarkan
laki-laki yang berada dikademangan ini menjadi gelisah. Ternyata angger
tidak mau beristirahat betapapun lelahnya. Bahkan angger telah hilir
mudik dipendapa dan dihalaman, sehingga dengan demikian setiap orang
yang berada dikademangan ini, baik perempuan dan anak-anak yang
mengungsikan diri, maupun mereka yang berjaga-jaga menjadi tenang
karenanya, sebab ada diantara mereka yang sudah mendengar, siapakah
angger ini”.
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang
Sangkal Putung itu, sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya
menjadi basah oleh keringat dingin, melampaui keringat yang membasahi
baju Ki Demang Sangkal Putung.
Widura melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa
keadaan Agung Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu
mempunyai tanggapannya sendiri, katanya didalam hati “Angger Agung
Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun jasanya bagi kami
tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut
dihadapannya, agaknya tak berkenan dihatinya”
Tetapi Widura itupun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya
dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru
terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya akan dapat menyulitkan Agung
Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak dapat mencegah mereka.
Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya untuk
menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widurapun
kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap
Sidanti kepada anak itu.
Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang lelah itu menerima
makan mereka. Tidak saja mereka yang bertempur disimpang empat Pandean,
tetapi semuanya yang berada dikademangan itu mendapat bagiannya.
Widurapun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka
yang dengan lahapnya menelan segumpal demi segumpal nasi kedalam
mulutnya, namun ia melihat juga beberapa orang yang terpaksa disuapi
karena lukanya yang parah.
“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka, “Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”
Orang-orang yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya.
Namun betapa mereka mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka
serasa kering dan tersumbat.
Meskipun menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan
segera datang kembali, namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan.
Ditempatkannya beberapa orang pengawas diluar kademangan Sangkal Putung,
dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya, supaya tidak melepaskan
senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan tidur dimalam
hari.
Demikianlah, malam hari itu, Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk
tidur dipringgitan bersama Widura, meskipun bagi Sedayu tidak disediakan
sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur dengan tenteram diatas tikar
pandan didekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-benar dapat melepaskan
segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat beristirahat
dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang
mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat
pamannya masih saja duduk disampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka
kerisnya dengan kelopak bunga keluwih.
Memang malam itu Widura tidak segera dapat tidur. Ada-ada saja yang
selalu mengganggu pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu dan Untara.
Tiba-tiba Widura itupun bergumam “Ah, alangkah baiknya kalau Untara
itu segera berada ditempat ini. Disini ia dapat membantu kami apabila
Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus Sedayu tak menggangguku lagi”
Widura itupun kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati,
besok Sedayu akan dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di
Sangkal Putung ia akan mendapat perawatan yang lebih baik. Dan ditempat
ini, keamanannyapun akan lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka,
adalah sangat berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya
datang mencarinya.
Widura mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang
menempel pada tiang pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika
ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas. Alangkah jauh bedanya.
Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki Sadewa, dan
kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki
Sadewa itu. “Aneh” gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura
itupun hanyut kedalam masa lampaunya. Selagi ia masih tinggal
bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara adalah anak yang sulung. Ia
lahir dan besar didalam alam yang bebas dan penuh gairah. Ia
bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang
berkelahi diantara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan
sebagainya. Disamping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu tata
bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara berjalan
jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Kerumah
sahabat-sahabatnya. Tidak saja didaerah Demak, namun ia pernah juga
berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan
Banyuwangi. Dari ujung sampai keujung yang lain dari pulau ini. Sudah
banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah
tentu diperjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya.
Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan
berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang
sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk
melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya
sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang
ayahnya itupun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang
sangat memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak
bermain-main dengan senjata. Sehingga akhirnya, setelah puas dengan
pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya, maka Ki
Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih
senang merendam dirinya dirumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu
dan bekerja dikebunnya. Menanam sayur-sayuran dan bunga-bungaan.
Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia
lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua
anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut telah meninggal dunia.
Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. Apalagi
didesak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun
yang lahir terakhir itupun laki-laki pula. Agung Sedayu.
Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia
sama sekali menghindari setiap pertentangan yang timbul. Didalam
pengembaraannya, kemudian ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan
dapat ditemuinya ketentraman hidup diantara gemerlapnya pedang dan pekik
kesakitan. Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya kedalam
hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan
telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia
pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka
manusia dijauhkan daripadaNya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih,
Maha Pengampun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan
diampunkan dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan.
Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali
anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa mereka bertempur, maka
haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian kepada sumber hidupnya
dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri sendiri.
Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan seperti kakaknya.
Ibunya tidak pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila sekali-sekali
Untara mengajak adiknya bermain, dan ditemuinya sedikit lecet
dilututnya, maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu dipelihara
oleh ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut
kehilangan anak untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium
seorang anak perempuan. Hanya kadang-kadang saja ibunya melepas Agung
Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itupun mainan yang tidak
berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih dari
berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil
menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga
apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling lincah.
Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar
halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus
pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan dengan
lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap beberapa ekor burung. Dan
ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas kekhususan anak-anaknya
itupun telah mencoba mengembangkannya.
Meskipun Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan
dalam kebaktian dan pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak
adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu
bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit demi sedikit dikuasainya pula
beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat terbatas. Meskipun
demikian berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak terlalu luas.
Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang daerah sekitarnya sebagai
daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan dengan
penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak
mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.
Angan-angan Widura tentang masa lampau itupun terhenti ketika
dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan
dilihantnya Widura masih duduk disampingnya, maka terdengar ia bertanya
“Mengapa paman belum tidur?”
Widura menggeleng “Belum Sedayu”
“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”
Sekali lagi Widura menggeleng “Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah malam”
Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali.
Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan malam,
segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya
sekali lagi anak buahnya yang sedang beristirahat. Ditengoknya pula para
penjaga diregol depan.
“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak” jawab orang itu.
“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata “Tugasmu
tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah malam kedua telah siap”.
“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka.
Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman
itu. Dipendapa dilihatnya beberapa orang masih sibuk melayani
kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada diantaranya yang menggeram
menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka. Meraba dahi mereka dan
berkata “Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh”
Kemudian ia berjalan diantara anak buahnya yang tertidur dengan
nyenyaknya karena lelah. Disudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah
berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya.
Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang sedang tidur.
Ketika ia melangkah masuk kepringgitan, dalam keremangan malam ia
melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan melintasi halaman. Agaknya
orang itupun belum tidur juga. Baru saat kemudian Widura meletakkan
tubuhnya untuk beristirahat dipembaringannya.
Malam itu serasa berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat
telah menenggelamkan laskar Widura itu kedalam pelukan tidur yang
nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh bermacam-macam ketegangan dan
keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan nyenyaknya.
Keesokan harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk
menjemput kakaknya. Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara
akan dapat datang setiap saat.
Demikianlah Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya
beberapa orang anak buahnya serta dengan mereka. Sebab diperjalanan
selalu terbuka kemungkinan mereka akan bertemu dengan orang-orang
Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya, mungkin
orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati.
Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta
meletakkan pimpinan ditangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung
Sedayu beserta orang-orang yang lainpun segera meninggalkan Sangkal
Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan pergi, sehingga
apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera mengirim
orang untuk menjemputnya.
Kali ini Widura dan rombongannya berjalan kearah barat. Lewat Kali
Asat. Lewat daerah itu, maka kemungkinan yang pahit dapat dikurangi
menjadi sekecil-kecilnya.
Disepanjang perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali.
Kuda mereka melaju seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul
bergumpal-gumpal. Agung Sedayu melihat jalan-jalan dibawah kaki kudanya
dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah
jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi
sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan
terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan
selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil
memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai dipadukuhan kecil yang
tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan kericuhan
itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun padukuhan itu masih sepi.
Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi lorong yang
membelah desa mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka
mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah
terbuka setebal tubuh itupun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang
tinggal dipinggir-pinggir jalan, berusaha mengintip, siapakah yang
sedang lewat itu. Namun tak seorangpun dari mereka yang mengenalnya.
Widura melihat desa-desa yang terpencil itu dengan sedih. Laskarnya
tidak cukup banyak untuk disebarkan dipadukuhan-padukuhan yang
terpencar-pencar. Sedang rakyat didesa-desa itupun tak akan dapat
memberikan perlawanan apapun seandainya orang-orang dalam satu
gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka
memberikan segala barang miliknya.
Daerah itu dilalui dengan kesan yang khusus dihati Widura. Sebaliknya
Agung Sedayu segera melihat tikungan dihadapan mereka. Tikungan randu
alas. Tetapi kini ia tidak setakut pada malam lusa. Kali ini Sedayu
berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun terasa tengkuknya
meremang
Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah
mereka dibulak yang panjang. Dan teringatlah ia bahwa kuda yang
dipakainya itu adalah milik seseorang yang menamakan diri Kiai
Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu berkata “Diujung
bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Kiai Gringsing” Widura mengulang.
“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya
agak jauh dibelakang, maka diceriterakannya serba sedikit tentang orang
bertopeng, berkerudung kain gringsing dan menyebut dirinya Kiai
Gringsing pula.
“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya”
“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah cambuk kuda”
Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kudapun
belum pernah didengarnya. “Orang aneh” desisnya. “Sudah pasti nama itu
bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah semacam syarat saja.
Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya tanpa senjata
apapun”
Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah
melampaui tikungan diujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu
terus.
Ketika Agung Sedayu melihat desa dihadapannya, hatinya
berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati, maka segera mereka
akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu, sudah akan akan
dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan kecil yang tak
banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali
seandainya didalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir.
Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan
itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan
ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya yang berat telah dapat
dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat menjadi saksi.
Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura.
Akhirnya desa dihadapan mereka itupun telah dilampaui. Dan dengan
dada yang berdebar-debar mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi.
Agung Sedayu segera menuju kerumah yang pernah dilihatnya. Lewat
lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka disebuah halaman yang
sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun alangkah terkejutnya Agung
Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman itu adalah,
halaman itu kotor dan tak terurus. “Apakah halaman rumah ini memang
sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan
tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki
Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, namun sepi.
Maka Agung Sedayupun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan
dengan lantang memanggil “Ki Tanu. Ki Tanu Metir” Namun panggilan itu
tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia
hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura mencegahnya “Sedayu,
jangan masuk”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada didalamnya”
“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayupun meloncat dan berlari menjauh.
Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab “Rumah ini adalah
rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang Untara ada didalamnya”
Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling.
Mencurigakan.
“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”
Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian “Juga kebelakang rumah?”
Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura.
Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh”
desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang kerumah ini sesudah aku”
Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya “Lihatlah kebelakang”
Dua orang dari merekapun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan
berhati-hati kebelakang rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat.
Dibelakang rumah itu, terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi kandang kuda
itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itupun dilaporkannya kepada
Widura.
Widura mengangguk-angguk “Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki
kuda Ki Tanu Metir sendiri” gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman
ini menjadi rusak”. Kemudian kepada Agung Sedayu Widura bertanya “Apakah
kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”
“Aku sangka tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak
merasakan bahwa kaki-kaki kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab
Sedayu.
Widura mengangguk-angguk. Iapun tak melihat bekas-bekas kaki kuda
diantara tanaman yang rusak itu. Karena itu Widurapun menjadi sibuk
berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan dengan hati-hati
berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir. “Kita lihat rumah itu”
katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata “Awasi keadaan”.
Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju kepintu yang terbuka itu.
Dengan telitinya ia memandang kedalam. Sepi, dan telinganyapun tidak
mendengar sesuatu.
“Ki Tanu” ia memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga
tiba-tiba Widura itu meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan
seksama menebarkan pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya
apapun didalam rumah itu.
“Hem” geramnya “kosong”.
Sedayu yang selalu mengikutinyapun segera meloncat masuk pula. Yang
pertama-tama dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan diamben
tengah. “Itulah” katanya.
“Apa” Widura terkejut.
“Bantal” jawabnya.
“Ah” Widura menarik nafas. “Kenapa bantal?”
“Disitulah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.
Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah
yang telah terjadi dengan Untara? Karena itu Widurapun segera memeriksa
rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi
juga tak ditemuinya sesuatu didalam sentong-sentong itu. Disentong kiri
Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok
kedalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi,
hatinya berdesir. Ia melihat noda-noda merah didalamnya. Darah yang
kering. Dengan cepat Widura memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi. Agaknya Untara telah disembunyikan didalam bakul itu dan
ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-hamburan dan
bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun
Widura sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu
menjadi bingung dan mengganggu pekerjaannya.
Ketika Widura sudah pasti bahwa didalam rumah itu tak ditemuinya
sesuatu, maka iapun segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung
Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun
tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah yang
kira-kira sudah terjadi.
Ketika Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang
berjalan dilorong desa itu. Tetapi orang itupun segera memutar diri,
ketika ia melihat beberapa orang dihalaman rumah Ki Tanu Metir. Tetapi
Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa
pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir,
sehingga ia dapat memberinya beberapa pertanyaan. Karena itu dengan
bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya. Tetapi orang itu sama
sekali tidak mau kembali, bahkan menolehpun tidak.
“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangna.
Ketika orang yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang
menyusulnya, maka iapun segera berlari. Tetapi kedua orang Widura itu
berlari lebih cepat, sehingga orang itupun segera dapat disusulnya.
“Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya.
Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya
gemetar. Dengan penuh ketakutan ia menjawab “Aku….. aku tidak berlari
tuan”
“Jangan takut” berkata orang-orang Widura itu. “Kami tidak akan
berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah”
Orang itu tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia
berjalan diapit oleh kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga
sekali-sekali ia berjalan merunduk-runduk. Didalam benaknya telah
terbayang, betapa punggungnya menjadi patah dan giginya akan rampal
habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa
Kriyapun pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya.
Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari pembaringannya.
Karena itu, maka demikian orang itu sampai dihadapan Widura dan
melihat pedang Widura yang besar tergantung dipinggangnya, segera ia
menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek “Ampun tuan, aku tidak akan
mengganggu pekerjaan tuan”
Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya “Kenapa ki sanak menjadi ketakutan?”
“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan Widura.
Widura memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur,
namun rambutnya telah memutih. “Aneh” katanya dalam hati. Dan tiba-tiba
saja, Widura memandang daerah disekitarnya. Sepi. Menang jalan-jalan
desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak
ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan
demikian Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang
patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini.
Sedang orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya.
Karena itu maka dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya “Ki
Sanak. Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa.
Yang kami inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”
“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.
Widura menjadi semakin heran “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.
Namun orang setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya,
kemarin lusa juga mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir,
tentang tamu-tamunya. Kemudian oleh orang-orang yang bersenjata pedang
seperti orang yang berdiri dihapannya itu, giginya telah dirontokkan dan
bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur
itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas
kasihan.Widura akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak
“Diam!. Jawab pertanyaanku!”
Orang itupun terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak
berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi terlalu lemah untuk menahan
berat badannya. Karena itu ia terduduk ditanah dengan hati yang
dicengkam kekawatiran.
“Siapa namamu?” bertanya Widura.
“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.
Nama yang aneh. Widura sempat bertanya “Kenapa Sepi?”
Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa
namanya Wangsa Sepi. Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat
membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya “Aku tidak senang ramai-ramai
tuan. Aku senang pada sepi”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula “Dimana rumahmu?”
“Disebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.
“Dekat” guman Widura. Karena itu ia bertanya kembali “Ki Sanak,
jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya aku bersikap baik juga
kepadamu”.
“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu.
Widurapun bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang
itu tidak menjadi semakin takut kepadanya. Katanya “Kau kenal penghuni
rumah ini?”
“Kenal tuan” jawab orang itu.
“Namanya?” bertanya Widura.
“Ki Tanu Metir”
“Bagus” sahut Widura. “Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Kesawah barangkali? Atau kesungai?”
Orang itu menggeleng, jawabnya “Aku tidak tahu tuan”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanyaannya
perlahan-lahan “Ki Sanak, kau akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku
bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau mendengar, kemana Ki Tanu Metir
pergi?”
Sekali lagi orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab “Aku tidak tahu tuan”
Widura menjadi gelisah. Tetapi ia masih bersabar. Dengan kedua
tangannya orang itu ditariknya berdiri. Katanya “Berdirilah ki sanak.
Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan baik”.
Dengan susah payah orang itupun berusaha berdiri dan tegak diatas
kedua kakinya. Namun lututnya masih juga gemetar. Apalagi ketika ia
sadar, bahwa disekitarnya berdiri beberapa orang laki-laki yang berwajah
keras dengan pedang dipinggang masing-masing. Meskipun demikian orang
itu masih mendengar Widura berkata dengan sareh “Ki sanak. Aku melihat
ketidakwajaran didesa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang
tak menyenangkan. Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa
yang telah terjadi untuk seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat
saat-saat mendatang”.
Orang itu menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya “Siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami adalah laskar Pajang” jawab Widura.
“Oh” desis orang itu. “Apakah kalian bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?”
Widura menarik nafas. Orang itu telah menyebut nama Alalp-alap Jalatunda.
Sedayupun terkejut pula mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong “Apakah Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain berganti-ganti.
“Jawablah” minta Widura.
Orang itu mengangguk “Ya” katanya. “Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Diantaranya bernama Plasa”
“Plasa Ireng” sahut Widura terkejut.
“Ya. Agaknya demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” jawab orang itu.
Widura menarik nafas. Kemudian ia bergumam perlahan-lahan yang hanya
dapat didengarnya sendiri “Setan Ireng itu sampai juga disini”. Maka
katanya seterusnya “Apakah yang sudah mereka lakukan disini?”
Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun setelah ia mengetahui
bahwa orang-orang itu sama sekali bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda,
hatinya menjadi agak tenang. Maka jawabnya kemudian “Tuan. Alap-alap
Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang kawannya. Mereka mencari
dua orang berkuda yang datang kerumah Ki Tanu Metir”.
Widura menjadi berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya “Adakah mereka diketemukan?”
“Kami tidak tahu pasti tuan. Menurut Kriya, orang-orang itu telah
memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan dimana salah seorang dari kedua
orang itu, yang ternyata terluka, disembunyikan” jawabnya.
Widura mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya “Dimanakah rumah Kriya itu?”
“Disudut jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Antarkan kami kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?”
“Sudah tuan” sahut Wangsa Sepi.
Maka pergilah mereka, diantar oleh Wangsa Sepi kerumah Kriya. Rumah
kecil beratap ilalang disiku jalan. Ketika mereka memasuki halaman rumah
itu, yang dipagari dengan pagar bata setinggi dada, mereka melihat
seorang perempuan berlari-lari masuk kedalamnya.
“Siapakah orang itu?” bertanya Widura.
“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi. “Perempuan itu pasti ketakutan. Ia
pasti menyangka bahwa orang-orang yang memukul suaminya kemarin datang
kembali.”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului,
supaya mereka tidak menjadi semakin ketakutan. “Masukkah Ki Sanak”
berkata Widura “Katakan kepadanya, bahwa aku bukan orang-orang yang
pernah datang kemari”.
Wangsa Sepi mengangguk. Kemudian iapun berjalan dahulu, masuk kerumah
Kriya yang bungkik. Orang itu masih berbaring diamben. Sedang istrinya
yang ketakutan berlutut disampingnya sambil menangis. Perempuan itu
terkejut sampai berjingkat, ketika tiba-tiba melihat seseorang begitu
saja sudah berdiri disampingnya.
“Aku Nyai” berkata Wangsa Sepi.
“Oh” istri Kriya itu menarik nafas, kemudian ia bertanya “Kakang,
siapakah orang-orang yang memasuki halaman ini. Adakah mereka
orang-orang yang memukuli kakang Kriya kemarin?”
Wangsa Sepi memandangnya dengan iba. Seperti seorang pelindung yang
baik ia berkata “Jangan takut Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang
terbaring diamben ia berkata “Jangan takut adi. Orang itu bukan
kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin bertemu dengan adi, justru
untuk mencari Alap-alap Jalatunda”
Mata Kriya yang kecil itupun terbelalak, “Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”.
Namun mata Kriya masih memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah
sedemikian ngerinya mengingat peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa
orang telah memukulnya berganti-ganti, mengancam dan menyengat-nyengat
dengan ujung-ujung senjata. Tetapi apabila benar orang-orang yang datang
ini justru mencari Alap-alap Jalatunda, maka ia dapat titip kepada
orang-orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta mereka supaya punggung
merekapun dipatahkan seperti punggungnya.
Maka katanya kemudian “Silakan mereka masuk”.
Widura dan Sedayupun kemudian masuk kegubug kecil itu. Mereka melihat
penderitaan yang dialami oleh Kriya. Beberapa luka-luka kecil dihampir
seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru pengab dan sakit yang amat sangat
dipunggungnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit dari
pembaringannya.
“Jangan bangun” berkata Widura, “Supaya sakitmu tidak bertambah parah”.
Kata-kata yang pertama itu telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini
pasti, orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatuda. Dengan
menyeringai menahan sakit ia berkata “Silakan tuan-tuan. Aku tidak dapat
menyambut tuan-tuan dengan baik”.
“Jangan diributkan” sahut Widura. “Aku hanya ingin beberapa
keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa yang telah kau ketahui
tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?”
Kriya yang kecil itu menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia
bercerita tentang orang-orang yang datang mencari dua orang berkuda.
Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang Alap-alap Jalatunda yang pergi
menyusul yang seorang lagi. Akhirnya ia berkata “Mereka telah mencoba
memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu. Namun
Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itupun menjadi marah.
Tetapi aku tidak tahu, apa yang terjadi seterusnya, karena tiba-tiba
dadaku terasa sesak, dan aku menjadi pingsan”.
Widura mendengarkan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar.
Sedang Agung Sedayu menjadi sangat cemas. Dengan nafas yang
terengah-engah ia bertanya “Jadi kemanakah Ki Tanu Metir kemudian?”
“Tak seorangpun yang tahu” jawab Kriya. “Namun kami menduga, bahwa Ki
Tanu Metir dan orang yang disangka disembunyikan itu telah dibawa oleh
mereka, gerombolan Plasa Ireng”
Sedayu menjadi semakin cemas. Ditatapnya wajah pamannya yang tegang.
Widura mencoba untuk menghubungkan keterangan-keterangan itu dengan apa
yang dilihatnya. “Hem” ia menarik nafas. Mungkin sangkaan itu benar.
Untara diketemukan didalam bakul dengan meninggalkan bekas-bekas darah
itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa?
Ruangan itu untuk sejenak menjadi sepi. Namun dada merekalah yang
menjadi riuh. Apalagi dada Agung Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia
menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh pamannya.
“Ki Sanak “ bertanya Widura kemudian “Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?”
Kriya menggeleng lemah. Jawabnya “Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti”
Widura irupun kemudian terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh
melewati lubang pintu. Diluar, sinar matahari dengan cerahnya
bermain-main diatas daun-daun dihalaman. Widura telah mengetahui dengan
pasti bahwa Alap-alap Jalatunda itu tidak berada di Jalatunda atau
sekitarnya, sebab daerah itu telah lama dibersihkan dari
gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan pegangan itu. Tetapi Widura
sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan Wangsa Sepi itu tak
akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka
dilihatnya wajah Sedayu yang pucat dan tegang.
“Bagaimana dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya.
Tanaman-tanaman yang rusak dihalaman Ki Tanu Metir, bukan sekedar
terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda sekalipun. Bekas-bekas itu
adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat itu menjadi pingsan,
sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang bertempur malam itu. Ki
Tanu Metir barangkali? Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah
gerombolan Plasa Ireng telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang
tua itu untuk memeras keterangannya sehingga halaman itu menjadi rusak?
Plasa Ireng tak akan memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan
itu. Namun Widura juga tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara
telah mampu mempertahankan dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng.
Kalau terpaksa terjadi perkelahian diantara mereka, sedang Untara dalam
keadaan parah, maka harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Untara
adalah sangat kecil. Demikian juga agaknya, apabila Plasa Ireng itu
berhasil menemukan Untara didalam persembunyiannya. Karena itu maka
Widurapun menjadi gelisah dan cemas.
Widura tidak segera membuat kesimpulan yang mendebarkan jantungnya,
meskipun itulah kemungkinan yang terbesar terjadi atas Untara.
“Mudah-mudahan Untara tidak mati muda” Widura berkata didalam hatinya.
“Namun kalau terpaksa terjadi demikian, maka anak itu telah gugur dalam
pelukan kewajibannya bersama dengan seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang
tak mengerti ujung pangkal dari perselisihan antara Pajang dan Jipang
itupun harus menderita karenanya”
Sedayu yang menunggu jawaban pamannya itu masih saja berdiam diri.
Mengangguk-angguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata
sepatah katapun. Karena itu ia mendesak “Bagaimanakah dengan kakang
Untara itu paman?”
“Aku belum dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.
Sedayu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak kemudian Widura itupun berkata “Ki Sanak, aku tidak perlu
terlalu lama disini. Barangkali aku kelak mendengar keterangan tentang
Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba mencari bekas-bekasnya disekitar
padukuhan ini”.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah itu tidak akan terlalu berbahaya.
Karena dengan tergesa-gesa ia berkata, “Apakah daerah sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya paman?”
Widura berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Berbahaya atau tidak,
tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mencari keterangan tentang
Untara”.
“Tetapi, bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”, bertanya Sedayu.
“Sedayu. Alap-alap jalatunda itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan.
Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya apabila kita bertemu” jawab Widura
membesarkan hati anak itu.
“Tetapi ia tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” desak Sedayu.
“Bukankah aku tidak sendiri?”
“Paman hanya membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau bahkan satu pasukan”
“Diantara kita ada kau, Sedayu”
“Ah” Sedayu mengeluh.
Widurapun mengeluh didalam hati. Anak itu sama sekali tidak
membantunya, bahkan ia dapat merupakan tanggungan yang terlalu berat.
Karena itu pula, maka Untara yang perkasa terpaksa terluka dipundaknya.
“Untara pasti sedang melindungi anak ini” pikir Widura. “Kalau tidak,
apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu
melukainya?”
Tetapi Widura tidak akan dapat melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah
kemenakannya. Dan betapapun anak ini pernah berjasa bagi Sangkal Putung
yang dibebankan kepadanya.
Meskipun demikian Widura mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa
disengajanya, sekali lagi ia melihat akibat kekasaran Plasa Ireng dan
Alap-alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini masih berbaring
dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia menjadi heran. Luka itu
terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya telah jauh berkurang.
Karena itu tiba-tiba ia bertanya “Ki Sanak, apakah luka-lukamu tak
pernah diobati?”
“Pernah tuan” jawab Kriya sambil menyeringai.
“Bukankah biasanya Ki Tanu Metirlah yang memberi obat kepada
orang-orang sakit? Dan sekarang orang itu telah tidak ada dirumahnya”
bertanya Widura.
“Ya” jawab Kriya. “Tetapi semalam datang pula orang yang mencari Ki
Tanu Metir. Orang yang sudah sangat tua. Katanya ia adalah sahabat Ki
Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan diberinya aku obat”
Oh” Widura mengangguk-angguk. “Siapakah namanya?”
Kriya menggeleng. Jawabnya “Ketika aku bertanya namanya, orang itu
menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab sambil menunjukkan kain yang
dipakainya. Kiai Gringsing”
Widura terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan
serta merta ia bertanya “Adakah Kiai Gringsing itu bertopeng?”
Sekali lagi Kriya menggeleng “Tidak” jawabnya. “Namun wajahnya aneh
juga. Berkeriput dan dipakainya pilus didahinya. Aku takut kalau bertemu
dengan orang itu dimalam hari seorang diri”.
Widura mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik
perhatiannya. Karena itu maka ia bertanya pula “Apakah yang dilakukan
oleh orang itu kemudian?”
“Tidak apa-apa” jawab Kriya “Setelah diketahuinya bahwa rumah
sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat, maka iapun segera pergi.
Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari Ki Tanu Metir lusa
kembali dan menangkapnya pula”
“Tanu Metir ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.
“Mungkin” jawab Kriya. “Tetapi orang tua itu berkata bahwa laskar
kedua pihak yang sedang memerlukan dukun-dukun untuk mengobati
kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu Metir telah mereka bawa
untuk keperluan itu”
Widura menarik keningnya. Keterangan itu masuk akan juga. Tetapi
cerita tentang Kiai Gringsing itu mungkin ada juga gunanya, maka Widura
itupun berkata “Apakah kau melihat tanda-tanda yang aneh pada orang yang
menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
“Tidak” sahut Kriya. “Selain bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok”
“Adakah kau tanyakan rumahnya?”
“Ya. Tetapi tak diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah tahu, siapakah dirinya”
Widura menarik nafas. Tak ada yang dapat diketahui tentang Kiai
Gringsing. Namun ia mendapat suatu kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing
benar-benar orang yang tak mau dikenal. Agung Sedayu pernah bertemu
dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Belum terlalu tua
dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan tiga buah
lubang, diarah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata
cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan Alap-alap Jalatunda. Sedang
orang yang menamakan Kiai Gringsing pula, datang kepada Kriya. Orang itu
telah terlalu tua, bongkok. Tetapi satu hal yang dapat ditarik
persamaan dari keduanya, wajah keduanya bukanlah wajah aslinya. Yang
datang kepada Kriya itupun berwajah aneh dan menakutkan, bahkan memakai
pilis didahinya. Bukankah itu juga suatu usaha untuk menyembunyikan
diri?
Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam persoalan orang yang tak
dikenalnya. Baginya, Untara lebih penting dari orang yang menamakan diri
Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali lagi ia minta diri “Terima
kasih atas semua keteranganmu, ki sanak” berkata Widura kepada Kriya,
kemudian kepada Wangsa Sepi “Ki sanak, ingat-ingatlah apa yang terjadi
kemudian. Mungkin aku akan datang kembali beberapa hari yang akan
datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat memberi penjelasan atas hilangnya
Ki Tanu Metir”
“Baiklah tuan” jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk.
Widura, Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang menunggu diluar segera
meninggalkan rumah Kriya Bungkik. Mereka kembali kehalaman rumah Ki Tanu
Metir. Dengan hati-hati Widura meneliti bekas-bekas kaki kuda dihalaman
itu. Kemudian katanya “Kita coba mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki
Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh orang-orang yang mengambilnya”
Kembali Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik “Bagaimanakah kalau kita akan sampai kesarang Alap-alap Jalatunda itu?”
“Suatu kebetulan” sahut Widura. “Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir”
“Tetapi bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?”
Widura menarik nafas, katanya “Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara hilang?”
“Tidak” jawab Sedayu. “Kita harus mencari kakang Untara. Tetapi
apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung dahulu, dan paman membawa
laskar lebih banyak lagi?”
“Kita akan banyak kehilangan waktu Sedayu” jawab pamannya. “Sedang
laskarkupun sangat terbatas. Kalau sebagian dari mereka meninggalkan
tempatnya, bagaimanakah jadinya Sangkal Putung itu, apabila Tohpati
datang kembali siang ini?”
Seayupun terdiam. Namun hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia
takut apabila Tohpati datang kembali. Mengikuti pamannya ia cemas
apabila mereka bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Namun ia tidak dapat
menentukan pilihan. Karena itu ia harus ikut saja kemana pamannya pergi.
Widura kemudian seakan-akan tidak memperhatikan Agung Sedayu lagi.
Dengan penuh minat ia melihat telapak-telapak kaki kuda dihalaman itu.
Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya mendekat, dan terdengar ia berkata
“Kita ikuti telapak kaki-kaki kuda ini”
Kawan-kawannyapun memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka
harus berusaha membedakan dengan telapak kaki yang lain. Apabila
mungkin, maka mereka akan dapat mengikuti kemana kuda itu pergi.
“Mudah-mudahan kita menemukan tempatnya” gumam Widura. Sedang Agung
Sedayu menjadi berdebar-debar mendengarnya.
Sejenak kemudian, merekapun telah siap diatas punggung kuda
masing-masing. Perlahan-lahan mereka berjalan menyusur jalan desa yang
sempit sambil memperhatikan jalan dibawah kaki-kaki kuda mereka, supaya
mereka tidak kehilangan jejak.
“Tiga ekor kuda” geram Widura.
“Ya” sahut kawannya. Selain itu mereka masih melihat telapak-telapak
kaki yang lain. Namun telapak-telapak kaki itu mengarah kearah yang
berlawanan. Diantaranya telapak-telapak kaki kuda mereka sendiri pada
saat mereka memasuki desa itu.
“Dua diantaranya adalah telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-alap
Jalatunda yang menyusulnya ke Sangkal Putung” gumam Widura. “Apabila ada
salah satu daripadanya memisahkan diri dari jalan ini, maka kuda itulah
yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah seorang daripadanya. Dan
kita akan mengikuti arahnya”
Kawan-kawannya itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun
didalam hati mereka terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka
benar-benar sampai disarang Alap-alap itu, maka pekerjaannya tidak akan
kalah beratnya dengan menyongsong kehadiran laskar Tohpati di Sangkal
Putung. Mungkin mereka akan menghadapi lawan yang berlipat. Namun hati
mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda
didepan mereka. Widura dan adik Untara. “Mereka berdua tak akan
terkalahkan” gumam mereka didalam hati.
Karena itu mereka menjadi tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali
mereka meraba hulu-hulu pedang mereka, seakan-akan mereka sedang
bersepakat dengan senjata-senjata mereka, bahwa mereka akan menempuh
suatu perjuangan yang berat.
Disepanjang jalan hampir mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang
sibuk memperhatikan bekas-bekas kaki kuda dibawah mereka. Hanya Agung
Sedayulah yang kadang-kadang menarik nafas panjang untuk mencoba
menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya ingin juga ia segera
mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila dibayangkannya
orang-orang yang kasar dan keras menghadang ditengah-tengah jalan dengan
senjata-senjata dilambung. Meskipun demikian ia tidak berkata sepatah
katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya orang-orang yang berkuda
dibelakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. Bahkan
ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir
bersamaan mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung
Sedayupun mengangguk. Tetapi ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu
mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu, kenapa ia mengangguk pula.
Semakin jauh mereka dari pedukuhan Pakuwon, hati Widura menjadi
semakin heran. Telapak kaki kuda itu tidak terpisah. Ketiganya menuju
Sangkal Putung. “Aneh” desis Widura. “Apakah salah seorang dari anak
buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung selain Alap-alap
Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Demikianlah mereka tetap mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak
menemukan titik perpisahan dari jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka
sampai juga di Bulak Dawa. Dan jejak-jejak itu masih mengikuti jalan
terus ke Sangkal Putung.
Widura juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apakah kita tidak keliru?” gumamnya.
“Apa yang keliru paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sekali lagi Widura memandangi jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak
begitu jelas lagi. “Apakah ada jejak-jejak lain yang sudah terhapus?”
gumamnya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah
dekat benar dengan Widura, Widurapun bertanya kepada mereka “Adakah
kalian melihat salah satu diantaranya memisahkan diri?”
Orang-orang itu menggeleng. “Tidak” jawab salah seorang dari mereka.
“Kami telah mencoba mengawasi dengan seksama setiap simpangan. Entahlah
kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat dilihat lagi”
Widura mengangguk-angguk. Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum
banyak dilalui orang. Apalagi kuda atau gerobag. Maka katanya “Kita
ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita tidak menemukan sesuatu,
kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali aku akan mencarinya”.
Ketiga orang itupun mengangguk, dan Sedayupun menjadi agak berlega
hati. Namun meskipun demikian, ia selalu cemas akan nasib kakaknya.
Satu-satunya saudaranya, yang selama ini, bahkan sejak kecil selalu
menjaganya dan melindunginya dengan baik.
Pada saat-saat dirinya mengalami kesulitan yang paling kecil
sekalipun maka kakaknya selalu datang menolongnya. Bahkan kakaknya itu
telah banyak sekali mengorbankan kepentingannya sendiri untuknya.
Kini kakaknya itu mengalami bencana. Apakah yang dapat dilakukannya?
Jiwa Agung Sedayu itupun menjadi bergolak. Ingin juga ia datang berkuda
menerobos masuk kedalam sarang orang-orang yang mungkin menculik
kakaknya dengan pedang terhunus ditangan. Ingin ia menolong dan
menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung Sedayu hanya dapat menggigit
bibirnya. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan disadarinya bahwa
apa yang dapat dilakukan hanyalah berangan-angan.
Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan ke Sangkal Putung. Meskipun
tidak sendiri, namun bulu-bulu Agung Sedayu meremang juga ketika mereka
lewat dibawah randu alas yang besar ditikungan. Setiap kali ia melihat
pohon randu alas itu setiap kali ia teringat cerita tentang genderuwo
bermata satu.
Tetapi Widura sama sekali tidak mempedulikan cerita itu. Ia masih
sibuk mencoba mengurai keanehan yang dihadapinya. Telapak-telapak itu
benar-benar menuju ke Sangkal Putung. Tetapi sampai sekian jauh belum
juga menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian sampai pada
daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan
lenyap dijilat hantu. Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi
tak ada hal-hal yang dapat memberinya petunjuk.
Maka dengan kecemasan yang mencengkam dadanya, akhirnya Widura
terpaksa membawa rombongannya kembali ke Sangkal Putung. Meskipun
demikian Widura itu menggeram “Suatu ketika aku harus menemukan jawaban
atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Tetapi matanya menjadi
panas, dan dijantungnya seperti akan pecah. Tetapi tidak lebih daripada
itu. Agung Sedayu tidak dapat berbuat apapun selain meratap dengan
sedihnya.
Ketika mereka sampai dihalaman kademangan, beberapa orang datang
menyongsong mereka. Citra Gati, Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa
orang lain. Sebelum Widura masuk kepringgitan, berbagai-bagai pertanyaan
harus dijawabnya. Dan orang-orang itupun menjadi kecewa pula. Mereka
mengharap Untara ada diantara mereka, namun ternyata orang itu telah
lenyap.
Hanya Sidantilah yang sama sekali tidak menaruh minat akan hilangnya
Untara. “Biarlah anak itu hilang. Dan biarlah orang-orang di Sangkal
Putung menyadari, bahwa bukan Untaralah orang yang paling sakti diantara
kita. Tohpati itu tidak terpaut banyak denganku. Apabila guru datang
kemari, aku akan mendapat petunjuk bagaimana harus mengalahkannya”
katanya didalam hati.
Tetapi ketika terlihat pula olehnya Sedayu, Sidanti mengangkat
alisnya. Dan hatinya berkata pula “Apakah anak ini benar-benar dapat,
setidak-tidaknya mendekati kesaktian Untara?” Sindanti menarik bibirnya
kesisi. Kemudian ia berjalan disamping pendapa dan sama sekali tak
mengacuhkan lagi, apakah yang terjadi di dukuh Pakuwon.
Disamping pendapa Sidanti berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan kearahnya. “Siapa yang datang?” gadis itu bertanya.
“Kakang Widura” jawab Sidanti.
“Dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula.
Sidanti menarik alisnya. Katanya “Ya, tetapi apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak itu?”
“Tidak. Tetapi aku ingin melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan Sangkal Putung”.
“Omong kosong” sahut Sidanti. “Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya
datang atas nama kakaknya, mengabarkan bahwa laskar Tohpati akan datang.
Selebihnya tidak. Akulah yang terluka oleh senjata Tohpati itu. Aku
tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat menyelamatkan hidupnya seandainya
ia harus menghadapi Macan Kepatihan itu”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi matanya dengan nanar menyapu
pendapa rumahnya. Namun yang dicarinya telah tidak tampak lagi. Widura
dan Agung Sedayu telah masuk ke pringgitan. Dipringgitan, demang Sangkal
Putung telah duduk menunggunya.
“Marilah adi” Ki Demang mempersilakan.
Kemudian merekapun duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih.
Widura sekali lagi mengulangi, apa yang dilihatnya di dukuh Pakuwon.
Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata “Aku tidak berhasil
menemukannya”
Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang” desisnya.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Masing-masing tenggelam didalam
angan-angannya. Kadang-kadang Sedayu masih mendengar, pamannya menggeram
menahan perasaan kecewa yang merayapi dadanya. Kecewa atas hilangnya
Untara dan Ki Tanu Metir, dan kecewa akan kemenakannya yang seorang
lagi. Agung Sedayu. Banyak persoalan yang akan dihadapinya. Tohpati yang
pasti tak akan melepaskan Sangkal Putung, Untara dan Ki Tanu Metir yang
harus diketemukan hidup atau mati, dan Agung Sedayu dilingkungan anak
buahnya. Widura yang telah banyak menghayati berbagai pengalaman,
melihat, betapa Sidanti dengan tidak disangka-sangka menempatkan sebuah
persoalan dengan kemenakannya itu. Tanggapannya yang kurang menyenangkan
dan harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Sedang apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak lebih daripada
meratap dan berangan-angan. Ia sama sekali tidak berusaha untuk
melindungi dirinya sendiri.
Sekar Mirah, ketika tidak berhasil melihat orang yang dicarinya,
kemudian berlari kebelakang. Ketika ia masuk kedapur dilihatnya seorang
pembantunya siap mengantarkan mangkuk-mangkuk minuman ke pringgitan.
Maka dengan serta merta gadis itu merebutnya sambil berkata “Biarlah aku
yang mengantarkan.”
Pembantunya tidak dapat menolaknya. Sehingga kemudian Sekar Mirah
sendirilah yang mengantarkan minuman itu. Dan dengan demikian gadis itu
berhasil melihat anak muda yang bernama Agung Sedayu dengan jelas.
Agung Sedayu yang selalu menundukkan wajahnya, tak menyadarinya,
bahwa seseorang telah mengawasinya dengan cermat. Sekar Mirah yang
kemudian meninggalkan pringgitan, masih selalu menatap wajah anak muda
itu dari balik pintu.
“Nama yang baik” desis Sekat Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.
“Ah” desisnya “Kau mengejutkan aku Kakang Sidanti.”
“Apakah yang kau intip?” bertanya Sidanti.
“Ayah” jawab Sekar Mirah tergagap
“Kenapa dengan Ki Demang?” desak anak muda itu.
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian ganti bertanya “Apa kerjamu disini?”
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum.
“Ah” desis Sekar Mirah “Keluarlah. Kau mengganggu aku disini.”
Sidanti menggeleng. Jawabnya “Marilah kita keluar bersama-sama.”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. Sedang Sidanti mengikutinya dibelakang.
“Apakah kau sudah melihat anak itu?” bertanya Sidanti kemudian.
“Ya” jawab Sekar Mirah “Baru sekarang aku melihatnya dengan jelas.
Anak itu datang lewat tengah malam. Dan kemarin hampir sehari penuh aku
membantu didapur. Baru kemarin sore aku mendengar nama itu. Nama yang
bagus.” Sekar Mirah berhenti sejenak ketika ia melihat dahi Sidanti
mengkerut, kemudian ia meneruskan “Seperti namamu.”
Sidanti tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar. Meskipun demikian
ia berdiam diri, sehingga Sekar Mirah berkata terus “Tadi pagi aku
melihatnya. Ketika hampir setiap orang menyebut namanya karena
keberanian dan ketangkasannya, baru aku ingin melihat wajahnya. Dan
wajahnyapun baik sebaik namanya.”
Sekali lagi sidanti mengerutkan keningnya. Sahutnya “Huh, wajah itu
tak akan langgeng. Lihat, hampir setiap wajah laki-laki disini pasti
ditandai goresan-goresan luka. Hudaya dikening dan pipinya. Citra Gati
dibelakang telinga kiri dan hidungnya. Sonya dipelipis kanan dan
dahinya. Patra dibahunya. Belum lagi yang tertutup oleh pakaian-pakaian
mereka. Bahkan Sendawa telah kehilangan sebelah matanya”.
Hampir segenap bulu Sekar Mirah berdiri “Ngeri” katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap wajah akan terluka. Wajahmu juga?”
“Itulah sebabnya aku berusaha untuk dapat melindungi tubuhnya dengan
kesaktian. Meskipun demikian pundakku telah terluka. Untunglah tidak
seberapa. Lalu, apalah kau sangka bahwa Sedayu itu mampu melindungi
wajahnya yang tampan itu? Lihat, kalau sekali lagi Tohpati datang, pasti
anak itu akan melawannya. Aku berani bertaruh, bahwa ia akan menjadi
cacat”
Sekar Mirah mendengar kata-kata Sidanti dengan hati yang cemas.
Benarlah seperti apa yang dilihatnya, hampir setiap laki-laki dipendapa
rumahnya menderita cacat ditubuhnya, meskipun hanya goresan-goresan
dikulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya “Apakah kalau orang yang
menyebut dirinya Tohpati itu datang kembali, Agung Sedayu harus
melawannya?”
“Itu adalah kehendaknya sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada kita
disini, bahwa kita disini adalah orang-orang yang tidak berarti baginya.
Ternyata, kemarin ketika aku minta untuk menghadapi Macan Kepatihan
itu, maka Sedayu menjadi sakit hati”.
Kini Sekar Mirah tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan ia berkata
“Kembalilah kepada kawan-kawanmu. Aku akan membantu orang-orang yang
bekerja didapur”.
“Sekehendakmulah” sahut Sidanti. “Dan sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal disini”
“Ini rumahku” bantah Sekar Mirah sambil bertolak pinggang. Sidanti
tertawa. Katanya “Baiklah. Aku harap bahwa aku akan tinggal dirumah ini
pula”
“Huh” jawan Sekar Mirah sambil mencibirkan bibirnya. “Apakah hakmu”
“Tidak ada” sahut Sidanti.
Sekar Mirah tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia pergi
meninggalkan Sidanti dan menuju kedapur. Sidanti mengawasi gadis itu
sampai hilang dibalik pintu. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu menarik
keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam “Sedayu harus
disingkirkan dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Tetapi aku tak
punya alasan untuk melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati segera datang
kembali. Aku ingin melihat, apakah aku berada dibawahnya atau
setidak-tidaknya menyamainya”. Sidanti menarik nafas, dan terdengar
bergumam terus “Sayang ia kemenakan kakang Widura. Tetapi kakang Widura
itu sendiri tidak lebih daripada aku”.
Sidanti itupun kemudian berlahan-lahan melangkah pergi. Ia berjalan
melingkari gandok wetan, kemudian sampailah ia disisi pendapa.
Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang berbaring dengan nyamannya
dibawah pohon sawo. Tetapi ia tidak pergi kesana. Anak muda itu langsung
naik kependapa, berjalan kesudut dan diraihnya senjatanya yang
terbungkus kain putih dan tersangkut didinding. Kemudian sambil duduk
disudut pendapa itu, Sidanti menggosok tangkai senjatanya dengan angkup
keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda membelai rambut kekasihnya.
Demikianlah maka sejak hari itu Agung Sedayu mencoba bergaul dengan
anak buah Widura. Beberapa orang bersikap sedemikian homat kepadanya,
sehingga Agung Sedayu menjadi sangat canggung karenanya. Hanya Sidanti
sajalah yang bersikap acuh tak acuh kepada anak muda itu. Sekali-sekali
ia bertanya juga, namun kemudian lebih baik ia membelai neggalanya, Kiai
Muncar, daripada bergaul dengan Agung Sedayu. Apalagi sikap canggung
Agung Sedayu benar-benar tak menyenangkannya. Sikap itu dirasakan oleh
Sidanti sebagai sikap yang sombong.
Sore itu ketika Agung Sedayu pergi keperigi dibalakang rumah,
dijumpainya Sekar Mirah sedang menjinjing kelenting. Gadis itu terkejut
dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia menyapa “Selamat sore tuan”.
Agung Sedayu mengangguk pula sambil menjawab singkat “Selamat sore”. Tetapi kemudian ia berjalan terus.
Sekar Mirah mengawasinya pada punggungnya. Sekali ia menarik nafas,
sambil bergumam “Benar juga kata orang, anak muda itu sangat pendiam”.
Meskipun demikian Sekar Mirah yang baru saja melihat Sedayu itu,
mempunyai kesan yang aneh. Gadis itu, sebelumnya senang bergaul dengan
Sidanti, karena tidak ada orang lain yang lebih sesuai dengan dirinya
dalam pergaulannya selain anak itu. Namun tak pernah ia merasakan
sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Setiap hari ia bertemu, bercakap
bahkan bergurau dengan Sidanti. Bahkan pernah juga Sekar Mirah
bertanya-tanya kepada dirinya, apakah Sidanti itu benar-benar menarik
hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban.
“Kenapa aku ributkan anak muda itu” katanya didalam hati. “Biarlah ia
berbuat sesuka hatinya. Pendiam, pemurung atau apa saja”. Dan Sekar
Mirah kemudian mencoba melupakan kesan itu sedapat-dapatnya.
Pada malam itu, setelah kademangan Sangkal Putung menjadi sepi, maka
Widura yang belum juga tertidur, membangunkan Agung Sedayu
perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan disampaikan kepada kemenakannya.
Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Sikap anak buahnya
kepada Agung Sedayu, sejak permulaan telah keliru. Dengan demikian
kedudukan Agung Sedayu benar-benar dalam kesulitan. Mereka menganggap
Agung Sedayu, adik Untara itu, setidak-tidaknya akan dapat menentramkan
hati mereka, apabila Tohpati datang kembali. Karena itu, apabila benar
demikian, apakah jadinya Agung Sedayu itu? Sebelum ia bertemu dengan
Macan Kepatihan ia pasti sudah mati ketakutan.
Ketika Agung Sedayu membuka matanya, maka dilihatnya pamannya duduk
disampingnya. Sambil menggosok matanya, Agung Sedayu bangkit duduk
dimuka pamannya.
“Sedayu” bisik Widura, “Marilah ikut aku”.
“Kemana paman?” bertanya Sedayu terkejut.
“Marilah. Setiap malam aku berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda”.
“Apakah paman ingin aku ikut berkeliling?” Sedayu menjelaskan.
Widura mengangguk, “Ya, kita berdua”.
“Berdua?” Sedayu semakin terkejut.
“Jangan takut Sedayu. Kita berada dalam lingkaran kita sendiri.
Penjagaan di kademangan ini sedemikian ketatnya, sehingga seorang
asingpun tak akan dapat memasuki”.
“Kalau demikian, apa gunanya paman berkeliling?”
“Melihat, apakah tugas-tugas itu dilakukan dengan baik. Kalau tidak,
jangankan seorang, bahkan seluruh laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa
kita ketahui”.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah sebabnya pamannya
membawanya serta. Pekerjaan itu sama sekali tidak menarik hatinya. Dalam
malam yanag sedemikian gelapnya, berjalan menyusuri jalan-jalan desa,
jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi setiap saat mereka akan dapat
berjumpa dengan bahaya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menolak ajakan
itu. Dengan hati yang berat, ia menggeliat, kemudian berdiri dan
membenahi pakaiannya.
“Bawalah kerismu, Sedayu” kata pamannya.
Agung Sedayu terkejut. Teringatlah ia kepada kakaknya. Pada saat
mereka meninggalkan Jati Anom, kakaknya itu berkata juga kepadanya,
seperti pamannya itu.
Dan tiba-tiba saja Sedayu bertanya “Kenapa aku harus bersenjata? Apakah kita akan bertempur?”
Pamannya tersenyum, namun hatinya mengeluh melihat kecemasan diwajah
kemenakannya. Jawabnya “Kita adalah laki-laki. Didaerah yang gawat
seperti Sangkal Putung setiap laki-laki harus bersenjata”.
Agung Sedayu tidak menjawab, hanya debar jantungnya menjadi semakin
cepat. Dengan ragu-ragu diraihnya kerisnya dari pembaringan pamannya dan
kemudian diselipkannya diikat pinggangnya. Meskipun demikian, Agung
Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan dapat menggunakannya.
Mereka berduapun segera melangkah keluar. Dipendapa mereka melihat
beberapa orang berbaring tidur dengan nyenyaknya. Sidanti, yang tidur
disudut, sudah tidak gelisah lagi. Agaknya lukanya telah berangsur baik.
Widura melihat anak muda itu sambil mengerutkan keningnya. Tenaga
Sidanti benar-benar diperlukannya. Namun sifat-sifatnya agak kurang
menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak sombong dan kurang patuh pada
perintah-perintahnya. Mungkin anak itu merasa, bahwa di Sangkal Putung
itu tak seorangpun yang dapat menyamai kesakitannya. Bahkan Widura
sendiri agaknya tidak melebihinya.
Mereka berdua kemudian melintas dihalaman. Ketika mereka sampai
diregol, beberapa orang penjaga menganggukkan kepalanya sambil bertanya
“Apakah kakang Widura akan pergi berkeliling?”
“Ya” sahut Widura
“Siapakah diantara kami yang akan kakang bawa?” bertanya mereka pula.
Widura menggeleng, sahutnya “Tidak ada. Kami akan pergi berdua”
Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa pamannya tidak membawa serta
beberapa orang teman? Apakah itu tidak terlalu berbahaya? Tetapi ia
tidak bertanya. Betapapun Sedayu masih juga merasa malu seandainya
orang-orang lain mengetahui betapa kecil jiwanya.
Ketika Widura dan Agung Sedayu telah hilang tenggelam dalam malam
yang gelap, terdengar salah seorang penjaga regol itu bergumam “Kakang
Widura telah membawa kemenakannya. Itu berarti, bahwa ia telah pergi
bersama lima enam orang dari antara kita. Bahkan lebih”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka berkata “Anak muda itu sangat pendiam”
“Demikianlah agaknya” sahut yang lain. “Orang yang yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak ribut dan banyak bicara”
Orang diregol itupun kemudian berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
Widura dan Agung Sedayu berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang
disaput oleh hitamnya malam. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya,
dilihatnya awan yang gelap mentakbiri langit. Sesaat-sesaat tampak
lidah api seakan-akan menjilat ujung-ujung pepohonan dikejauhan.
Widura dan Agung Sedayu singgah dari satu gardu kegardu yang lain.
Mereka melihat betapa anak buah Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung
bersiaga, sebab mereka menyadari, bangkit atau tenggelam, kademangan
Sangkal Putung itu berada ditangan mereka.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menenangkan dirinya. Setiap kali ia
selalu cemas, apakah tidak mungkin seorang, dua orang atau lebih,
mengendap diparit-parit atau dibelakang gerumbul-gerumbul, dan dengan
tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia tidak berani bertanya kepada
pamannya.
Sampai diujung desa, Widura masih berjalan terus. Mereka kini lewat
dijalan diantara bentangan sawah yang luas. Meskipun jarak jangkau
pandangan mata mereka tidak dapat menembus malam yang kelam, namun
mereka melihat juga batang-batang padi yang rimbun.
Hati Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin cemas, sejalan dengan
jarak mereka yang semakin jauh dari induk desa Sangkal Putung. Karena
itu akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatirannya, sehingga ia
terpaksa bertanya “Kemanakah kita ini paman?”
“Jangan takut Sedayu. Desa didepan, masih dirondai oleh kawan sendiri “ jawab pamannya.
Agung Sedayu terdiam, namun detak jantungnya menjadi semakin deras.
Desir angin yang menggerakkan batang-batang padi terdengar seperti suara
hantu yang merintih-rintih.
Agung Sedayu terkejut ketika pamannya berkata “Kita belok kekanan Sedayu, lewat pematang”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Widura telah meloncati parit. Karena
itu tak ada yang dapat dilakukan oleh anak muda itu selain mengikutinya
dibelakang.
Sesaat kemudian mereka berdua sampai pada suatu bentangan tanah lapang
yang sempit. Sebuah puntuk kecil yang ditimbuhi oleh batang-batang
ilalang dan sebuah pohon kelapa sawit. Bulu-bulu tengkuk Agung Sedayu
mulai meremang. Daerah ini tampak sepi. Terlalu sepi dan menakutkan.
“Sedayu” berkata Widura perlahan-lahan. “Puntuk inilah yang dinamai orang Gunung Gowok”
Seluruh wajah kulit Agung Sedayu terasa seakan-akan berkeriput. Nama
itu mengingatkannya kepada sebuah ceritera tentang Kiai Gowok.
Kiai Gowok menurut pendengarannya adalah semacam hantu yang berparas
tampan. Meskipun ia tidak suka mengganggu orang namun kadang-kadang
memerlukan sekali-sekali menemui gadis-gadis cantik. Karena itu
tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya.
Pamannya melihat, batapa Agung Sedayu menjadi takut mendengar nama
puntuk itu, maka katanya “Jangan hiraukan ceritera tetek bengek tentang
puntuk itu”
Agung Sedayu tidak menjawab. Sedang pamannya berkata terus “Sedayu, bersiaplah. Kita mengadakan latihan untukmu”
Agung Sedayu menjadi heran. Latihan apakah yang dimaksud oleh
pamannya. Apakah ia harus melatih diri, untuk tidak takut dengan
cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya pamannya meneruskan
“Sedayu, kau harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang di Sangkal
Putung menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Mereka menyangka bahwa kau
memiliki kesaktian dan ilmu tata bela diri setidak-tidaknya mendekati
kakakmu Untara. Aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi seandainya pada
suatu kali kau terpaksa terlibat dalam suatu perkelahian dengan
siapapun. Apalagi kalau Tohpati itu datang kembali. Sedang orang-orang
di Sangkal Putung menyangka kau pasti akan mampu melawannya. Karena itu,
belajarlah berbuat, berpikir dan bersikap seperti seorang laki-laki”.
Terasa denyut nadi Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Kata-kata
pamannya itu benar-benar mendebarkan jantungnya. Tetapi ia tidak tahu,
apakah yang harus dikatakannya. Ketika ia tidak segera menjawab,
pamannya berkata terus “Apa yang akan aku lakukan, adalah mencoba
menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah kita berlatih. Untuk
seterusnya setiap malam kita berlatih disini. Supaya apabila suatu
ketika, kau harus berbuat seperti laki-laki sewajarnya, ada bekalmu
meskipun sedikit. Seterusnya, kalah atau menang, tidak menjadi soal.
Kalau kita mati dalam pertempuran nama kita akan tetap dikenang. Tatapi
kalau kita lari daripadanya, maka nama kita akan senilai dengan
daun-daun kering yang diterbangkan angin”
Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin keras. Kembali ia mengeluh.
Ia merasa, bahwa kedatangannya di Sangkal Putung, benar-benar
seakan-akan terjerumus kedaerah yang sama sekali tak menyenangkan.
“Kalau kakang Untara malam itu tidak menjerumuskan aku keneraka ini”
gumamnya didalam hati “Kenapa kakang Untara meributkan laskar paman
Widura disini? Apakah kalau aku tidak datang kemari, Sangkal Putung ini
benar-benar akan dihancurkan oleh Macan Kepatihan?”
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berangan-angan lebih panjang lagi.
Dilihatnya pamannya menyingsingkan lengan bajunya, menarik ujung kainnya
dan disisipkannya kebelakang. “Bersiaplah Sedayu. Aku tahu bahwa
kakakmu pernah memberimu dasar-dasar latihan. Sekarang kita lihat,
sampai dimana kau pernah memilikinya”
Dengan segannya, Agung Sedayu pun mempersiapkan diri. Sebenarnya ia
pernah menerima beberapa pengetahuan tata bela diri dari kakaknya. Dan
kini, mau tak mau ia harus mempergunakannya. Pamannya agaknya akan
mempergunakan cara yang langsung dalam latihan ini. Dan ternyata dugaan
itu benar. Pamannya tidak menuntunnya, mempelajari unsur demi unsur,
namun Widura itu langsung melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur.
“Awas Sedayu” berkata pamannya. Dalam pada itu Widura pun telah meloncat sambil menyerang dada.
Agung Sedayu terkejut. Cepat ia mengendapkan diri. Tangan Widura itupun melayang beberapa jengkal diatas kepalanya.
“Paman!”teriak Sedayu” Jangan terlalu keras”
Langkah Widura terhenti. Dengan heran ia bertanya “Apa yang terlalu keras?”
“Paman menyerang bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu
Pamannya menarik nafas, jawabnya “Tidak. Tetapi aku harus berbuat
seakan-akan sungguh-sungguh. Sebab dalam perkelahian kau tak akan dapat
dengan rendah hati mohon agar lawan-lawanmu tidak bersungguh-sungguh”
Sekali lagi debar dijantung Sedayu menjadi bertambah cepat. Tetapi ia
tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah pamannya itu.
Karena itu kembali ia bersiap. Melakukan latihan adalah jauh lebih baik
dari bertempur yang sebenarnya. Ketika pamannya menyerang sekali lagi,
Agung Sedayu pun mengelak pula, dengan satu loncatan ia membebaskan
dirinya. Tetapi Widura tidak berhenti. Dengan cepat ia berputar, dan
serangannya beruntun menyambar Agung Sedayu.
Gerakan itu tidak begitu sulit untuk dielakkan. Kakaknya pernah juga
berbuat seperti pamannya itu. Satu kali Agung Sedayu melangkah
kesamping, kemudian dengan menarik satu kakinya terbebas dari serangan
tangan pamannya yang mengarah pundaknya. Ketika kemudian Widura memutar
kakinya mendatar setinggi lambung, Sedayupun mencondongkan tubuhnya
kebelakang sehingga kaki pamannya itu lewat beberapa jengkal dari
tubuhnya.
Tetapi Widura tidak berhenti menyerang. Bahkan serangan-serangannya
menjadi semakin cepat. Namun Agung Sedayu masih juga mampu mengelak.
Selangkah demi selangkah ia melangkah surut untuk menghindarkan
serangan-serangan pamannya. Sehingga akhirnya terdengar pamannya berkata
“Apakah kau hanya belajar menghindar saja? Coba bagaimana kakakmu
mengajarmu menyerang”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Gerak pamannya tidak jauh berbeda
dari kakaknya . Keduanya bersumber dari ilmu ayahnya. Karena itu Sedayu
tidak begitu sulit melayani pamannya. Kini pamannya minta, agar
sekali-sekali ia menyerangnya juga. Dan permintaan itupun dipenuhinya.
Karena itu latihan itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu benar-benar
mengherankan pamannya. Ternyata gerakan-gerakan yang dilakukan bukanlah
gerakan-gerakan yang sederhana seperti anak-anak muda yang sedang
menerima dasar-dasar ilmu bela diri. Tetapi Agung Sedayu telah
memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang penggunaannya, maka
sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat memanfaatkan
beberap unsur yang bagus sekali.
“Hem” desah pamannya didalam hati. “Anak ini bukan anak yang bodoh.
Sayang, lingkungannya pada masa kanak-kanak telah membentuknya menjadi
seorang pengecut”. Tetapi angan-angan itu patah, ketika Widura mendengar
suara tertawa disamping mereka. Suara yang bernada tinggi melengking,
meskipun tidak terlalu keras.
Agung Sedayu terkejut bukan kepalang. Yang mulai melintas dikepalanya
adalah Macan Kepatihan. Karena itu, ketika ia melihat pamannya memutar
tubuhnya dengan kesiagaan penuh, segera ia meloncat berlindung
dibelakangnya.
Ketika mereka berdua memandang kearah suara itu, mereka melihat
samar-samar seseorang bersandar pohon kelapa sawit diatas puntuk kecil
yang mempunyai nama besar, Gunung Gowok.
Widura masih tegak seperti patung. Dipandanginya orang yang bersandar
pohon kelapa sawit itu dengan wajah yang tegang. Meskipun demikian
Widura melangkah beberapa langkah maju sambil bertanya “Siapakah kau?”
Agung Sedayu yang juga dengan berdebar-debar ikut pula maju beberapa
langkah berbisik dengan suara gemetar “Apakah itu Macan Kepatihan?”
Widura tidak mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejappun ia tidak meninggalkan kewaspadaan.
Orang yang bersandar itu masih juga bersandar. Widura yang melangkah
mendekatinya itu sama sekali tak diperhatikannya. Suara tertawanya yang
bernada tinggi itu bahkan terdengar kembali.
“Siapakah kau” Widura mengulangi pertanyaannya.
Suara tertawa itupun kemudian menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata “Latihan yang bagus”
Widura menjadi semakin bercuriga. Dengan hati-hati ia melangkah maju
pula. Tangannya telah melekat dihulu pedangnya. Katanya “Jangan
menggangu kami. Katakanlah siapakah kau supaya aku dapat mengambil
sikap”
Orang itupun kemudian berdiri tegak. Beberapa langkah ia maju
mendekati Widura. Sehingga akhirnya mereka dapat saling melihat wajah
masing-masing.
Ketika Widura melihat wajah orang itu, mula-mula ia terkejut. Wajah
itu tampak seputih mayat. Namun kemudian Widura menyadarinya, orang itu
telah menutup wajah aslinya dengan sebuah topeng yang berwarna
kekuning-kuningan.
(bersambung)